Oleh: Hadipras
Alur Cerita Zero-Day
SURABAYAONLINE.CO – Bagi mereka yang tertarik mencermati permainan politik tingkat tinggi, tentu akan tertarik dengan film mini seri yang baru-baru ini di rilis Netflix berjudul “Zero Day” dengan pemeran utama Robert De Niro sebagai George Mullen, seorang mantan Presiden AS, bersama Angela Basset, Dan Stevens dan Jesse Plemons.
Alur ceritanya berawal dari krisis nasional dimana sebuah serangan dunia maya (siber) besar-besaran melumpuhkan infrastruktur vital AS, memicu kekacauan dan ketakutan nasional serta banyak korban. Mantan Presiden Mullen (De Niro) dipanggil dan diberi tugas wewenang istimewa oleh Presiden AS, untuk memimpin tim investigasi khusus, guna menguak dalang kejadian tersebut. Mullen mencium adanya aksi kontra intelijen dan konspirasi dalam peristiwa itu dan menyadari bahwa serangan ini mungkin bukan pekerjaan hacker asing, melainkan operasi dalam negeri yang melibatkan elit politik, militer, dan korporasi besar.
Mullen ada dalam situasi yang tertekan diantara berbagai kekuatan politik, intimidasi dari para anggota dewan dan senat yang berkuasa untuk menggunakan tindakan represif berupa penangkapan dan interogasi pada tokoh-tokoh yang diduga terkait krisis nasional, guna mengatasi kekacauan yang ada dan sekaligus “menghabisi” anasir lawan-lawan politik. Kesemuanya berkedok slogan ‘patriotisme’ disertai narasi demi keamanan nasional dan penyelamatan ekonomi, demi negara AS.
Padahal plot besar yang sedang diinvestigasi menunjukkan adanya skenario kontra intelijen oleh beberapa elit penguasa untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan bayangan (semacam politik dinasti-koalisi) bertolak dari kejadian serangan siber.
Dengan pengalamannya sebagai mantan presiden populer dan ketenangan serta kepiawaian menghadapi tekanan politik, Mullen menemukan bahwa usulan proyek-proyek investasi untuk kontrol komunikasi masyarakat dan kebijakan anti-terorisme hanyalah alat untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan bayangan dari rezim dinasti koalisi dan oligarkhi, serta memperkaya segelintir orang. Mullen sendiri menjadi target ketika terlalu dekat dengan kebenaran.
Meski berusaha membongkar kebobrokan sistem dan mampu memenjarakan beberapa elite politik sehingga membangkitkan kesadaran rakyat akan demokrasi yang berkeadilan, korupsi, kolusi dan nepotisme, Mullen menyadari bahwa kekuatan yang bermain terlalu besar.
Serial film ini berakhir “menggantung” dengan pertanyaan: Apakah demokrasi bisa diselamatkan, atau hanya ilusi yang dikendalikan oleh kekuatan tak terlihat?
Rekayasa Demokrasi
Plot cerita film Zero-Day sesungguhnya menyindir perkembangan demokrasi kekuasaan di berbagai negara dan pemerintahan yang sudah sangat tidak sehat karena maraknya kontra-intelijen dan manipulasi dimana intelijen dalam negeri dipakai untuk mempertahankan kekuasaan, bukan melindungi rakyat. Disamping itu model korupsi makin sistematis dimana para elit politik dan bisnis memanfaatkan krisis untuk mencuri uang publik. Dan tentu saja tujuan demokrasi gagal dan rusak karena proses hukum dan pemilu dikendalikan oleh mereka yang berkuasa.
Konsep demokrasi yang sejak awal digagas oleh Aristoteles dan Plato, berkembang ke konsep demokrasi modern yang dipengaruhi pemikiran para filsuf seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau dan Montesquieu. Namun demokrasi ternyata makin melenceng dari tujuan dasarnya, dan makin signifikan sejak abad ke-20. Hal ini terutama disebabkan oleh:
Pertama, Perang dingin (1945-1991) dimana masa-masa ini digunakan sebagai alasan untuk mempertahankan kekuasaan dan hegemoni oleh negara-negara blok barat dan timur.
Kedua, perkembangan neoliberalisme (1970-1980an) yang diterapkan negara-negara barat, memperkuat kekuasaan korporasi dan memperlemah kekuasaan negara.
Ketiga, globalisasi (1990an-sekarang), telah memperkuat kekuasaan korporasi trans-nasional dan memperlemah kekuasaan negara-bangsa
Dalam konteks ini, demokrasi sering digunakan sebagai “instrumen” untuk mempertahankan kekuasaan dan hegemoni oleh elit politik, elit ekonomi melalui kolusi, nepotisme dan money politic.
Tren Demokrasi-Kekuasaan dan Kapitalisme di Masa Depan
Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana kira-kira situasi demokrasi dan kekuasaan dimasa depan? Merujuk beberapa analisis dari berbagai sumber, tren saat ini dan prediksi ke depan antara lain sbb:
– Kapitalisme global semakin dominan.
– Ekspansi korporasi multinasional (makin menguasai ekonomi digital).
– Neoliberalisme masih dan makin kuat di banyak negara (melalui pasar bebas, deregulasi, privatisasi).
– Finansialisasi ekonomi (dimana uang mengalir ke pasar saham & aset ketimbang sektor riil). Uang bisa mengendalikan segalanya.
– Globalisasi supply chain yang didominasi korporasi raksasa.
Ada beberapa faktor yang memperkuat kapitalisme di masa depan:
– Teknologi dan digitalisasi, dimana platform kapitalisme mengubah tenaga kerja jadi “gig economy” yang lebih eksploitatif.
– AI dan otomatisasi bisa memperbesar kekayaan pemilik modal, sementara pekerja biasa terancam.
– Konsentrasi kekayaan, dimana menurut Oxfam 2024, 1% orang terkaya menguasai >40% kekayaan dunia makin membesar (ada yang menyatakan sudah 82% menguasai kekayaan dunia)
– Monopoli data oleh perusahaan teknologi yang makin memperkuat ketimpangan.
– Kapitalisme Hijau (Green Capitalism) jadi peluang dimana perusahaan besar mengkapitalisasi isu lingkungan (misal energi terbarukan), tapi belum tentu solutif bagi kesenjangan sosial.
Meskipun demokrasi kekuasaan dan kapitalisme makin menggurita, tetap ada faktor-faktor yang bisa menjadi penyeimbang.
– Bangkitnya ekonomi negara (state capitalism) seperti China, di mana pemerintah tetap punya kendali besar.
– Proteksionisme dan nasionalisme ekonomi (AS dengan “America First”, Eropa dengan regulasi ketat pada Big Tech).
– Gerakan anti-kapitalis (sosial-demokrat, ekososialisme, serikat buruh, ekonomi cooperatif) yang terus mengadakan perlawanan
– Berkembangnya internal krisis kapitalisme itu sendiri karena persaingan.
– Walaupun sistem finansial global telah didesain kokoh tetapi ternyata rapuh, misal ditunjukkan oleh resesi 2008 dan COVID-19
– Makin vulgarnya ketimpangan ekstrem makin memicu ketidakpuasan (misal gerakan Occupy Wall Street, protes di Prancis, Amerika Latin dsb).
Di masa depan sistem kapitalisme akan berevolusi dengan wajah baru. Kapitalisme akan bertahan, tetapi dengan lebih banyak mendorong berbagai regulasi untuk mensiasati tekanan sosial dan lingkungan. Para stakeholder kapitalism terdorong menampilkan wajah persuasif. Sistem kapitalis global akan terus memoles wajah untuk menghadapi perlawanan terhadap kapitalisme ekstraktif seperti krisis iklim, automasi, ketimpangan, berdasarkan ide bahwa perusahaan harus peduli pada masyarakat, bukan hanya pemegang saham.
Ekonomi dunia memang makin kapitalistis dalam beberapa hal (seperti digitalisasi, finansialisasi, kekuatan korporasi), tetapi juga makin tertekan menghadapi krisis dan perlawanan yang bisa mengubah bentuknya.
Sistem kapitalis menyadari bahwa akan menghadapi fragmentasi ekonomi yang tidak bisa dihindari, misal akibat perang dagang AS-China dimana sistem ekonomi global tidak bisa lagi menjadi satu sistem kapitalis yang homogen. Berbagai perang dagang yang akan muncul, dan akan makin membuat fragmentasi sistem ekonomi kapitalis rapuh.
Beberapa negara mengupayakan adopsi perubahan dengan beberapa alternatif misal paradigma ekonomi sosial-demokrat di negara Skandinavia; mendorong ekonomi partisipatif/kooperatif (koperasi, komunitas mandiri); dan memberi ruang Degrowth dan Ekososialisme (gerakan lingkungan yang menolak pertumbuhan kapitalis tak terbatas).
Mungkin masih ada harapan, karena betapapun kuatnya kapitalisme akan menghadapi peran kekuasaan negara yang dinamis dari hasil proses demokrasi, karena suara rakyat tetap menjadi momok bagi kekuasaan yang didukung oligarkhi kapitalis.
Negara China dengan kebijakan politiknya yang memberi ruang kesejahteraan dan pemerataan, menjadi fakta bahwa kapitalisme bisa dikendalikan negara. Bahkan pemerintah AS dan Eropa juga mulai lebih banyak intervensi pasar liberal (anti-monopoli, pajak korporasi global) untuk merespon perlawanan penderitaan rakyat dalam proses demokrasi dari pemilu ke pemilu.
Solo-Day di Negara Sedang Berkembang
Kalau plot konspirasi politik kekuasaan dinegara maju, dengan kesadaran politik dan tingkat pendidikan serta literasi masyarakat yang cukup tinggi seperti AS dilakukan dengan model Zero-Day film serial yang dibintangi Robert De Niro; maka plot konspirasi politik kekuasaan di negara sedang berkembang (terutama yang kaya sumberdaya alam) mempunyai karakter yang berbeda; sebut saja model Solo-Day. Solo diartikan tunggal, karena kekuasaan pemerintah dan korporasi raksasa menyatu menguasai berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Kalau dalam Zero-Day rekayasa konspirasi dilakukan dengan kontra intelijen serangan siber terhadap infrastruktur vital publik sehingga memberi alasan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan represif kepada masyarakat dan memberi legalisasi kontrol penuh terhadap sistem demokrasi; maka dalam model Solo-Day, rekayasa konspirasi dilakukan melalui kontra intelijen yang memanfaatkan tingkat kesadaran politik masyarakat yang rendah, literasi yang kurang, isu kemiskinan-kesenjangan, serta politik penyanderaan (karena sistem hukum yang rapuh, tebang pilih, kurang transparansi dan akuntabilitas).
Model ini tentu memerlukan biaya yang sangat besar baik untuk penyuapan secara sembunyi-sembunyi, maupun bermacam jenis bantuan sosial terbuka atas nama “social safety net” untuk mengendalikan emosi massa yang lapar dan miskin. Ini berbeda dengan situasi negara demokrasi yang maju yang selain mempunyai banyak pilihan calon-calon pemimpin kompeten, isu keamanan sosial lebih prioritas dalam mempengaruhi demokrasi, sehingga narasi dan plot patriotisme dengan isu keamanan sosial menjadi pilihan dalam membentuk hegemoni kekuasaan politik.
Solusi yang Menggantung
Jika dalam film Zero-Day solusi terhadap konspirasi berbasis kontra intelijen, bisa menyeret para konspirator ke pengadilan walaupun model konspirasi seperti itu akan terus berlanjut dengan pemain dan episode yang lain (menggantung), namun kemudian ada jeda waktu yang cukup untuk membangkitkan kesadaran publik tentang arti demokrasi yang berkeadilan dan memberikan harapan perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya dalam model Solo-Day situasinya sangat kompleks, karena politik sandera (hukum dan skandal) tidak hanya melibatkan elite politik papan atas, tetapi juga menyebar kebawah sampai tingkat elite desa, baik dari pihak pemerintahan maupun masyarakat (pengusaha dan tokoh masyarakat). Berbagai isu sentimen SARA bisa digunakan untuk memaksakan kepentingan. Bahkan dalam sistem pendidikan pun prioritas untuk membangun mental dan moral juga ambigu, sehingga makin sedikit bagian masyarakat intelektual yang idealis (walau tidak sempurna). Dan makin kedepan, akan makin banyak yang berkarakter pragmatis walaupun mempunyai tingkat intelektual yang cukup.
Kondisi negara-bangsa yang sedang berkembang dengan sumberdaya alam yang besar, dan menjalani model Solo-Day bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun, menjadi sasaran empuk bagi elit kapitalisme global (dunia) yang hanya 1% untuk makin merajalela.
Dan masyarakat di negara sedang berkembang seperti itu harus tetap menerima kenyataan untuk sekedar bisa ‘survive’ dan merasakan sedikit perbaikan, dalam konteks kesenjangan yang makin lebar dan dalam.
Apakah model Solo-Day terjadi di Indonesia: Entahlah! Kalau jawabannya formal, maka narasinya sederhana: “Buktikan secara hukum!”. Kalau jawaban informal, menjadi ambigu dan hanya berkutat pada kritik, protes dan debat.
Jawaban paling praktis adalah dengan membiarkan setiap orang merasakan sendiri dan membangun kesadaran diri, apakah situasi demokrasi yang ada baik-baik saja? Meski didepan mata bisa dilihat dan dirasakan, betapa sebagian (besar) masyarakat-bangsa makin pragmatis saja. Pragmatis dalam konteks uang, jabatan status sosial dsb. Sulit diajak untuk belajar dari jati diri George Mullen, si mantan Presiden AS dalam film Zero-Day, yang berpegang teguh pada: “kebenaran adalah kebenaran”.
Tetapi sejarah menunjukkan bahwa pada titik dimana ketidakadilan tidak lagi bisa ditolerir, perlawanan keras akan terjadi, entah reformasi, entah revolusi, karena kekuatan rakyat (people power) akan menemukan momentumnya sendiri.
Setiap pemimpin ada masanya, setiap masa ada pemimpinnya. Setiap pahlawan ada masanya dan setiap masa ada pahlawannya. Sebaik-baik orang, adalah yang menyadari bahwa dia atau mereka tidak bisa berkuasa abadi; karena Tuhan YME yang mempunyai kedaulatan absolut untuk mengangkat dan menurunkan pemimpin (tentu disertai hukuman-azab), karena anugerah kekuasaan menuntut pertanggungjawaban yang berat. Tidak bisa ditawar memakai money politic dan bansos.
Walahualam.