Oleh: Gatot Sundoro
SURABAYAONLINE.CO – I’tikaf secara syari’ah maksudnya adalah berdiam di masjid oleh seseorang dengan sikap/tindakan tertentu.
Kegiatan shalat ataupun membaca Al-Qur’an dimalam ramadhan hukumnya adalah sunnah.
Sepuluh malam terakhir bulan ramadhan adalah i’tikaf terbaik, dalilnya adalah Al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw dan Ijma’ kaum muslimin.
Dalam sebuah ayat ALLOH SWT berfirman :” Dan janganlah kalian berhubungan langsung dengan mereka, sementara kalian beri’tikaf di masjid. Itulah batas batas ALLOH, maka janganlah kalian mendekatinya.” (QS. Al Baqarah : 187)
Makna ayat diatas adalah kaum muslimin janganlah bersetubuh dengan istrinya, sementara melakukan i’tikaf di masjid. I’tikaf dimaksudkan untuk melatih mengendalikan nafsu birahi dan lebih mendekatkan diri kepada ALLOH SWT.
I’tikaf wajib dilakukan dengan niat, suci dari hadats besar; sehingga tidak sah i’tikaf di masjid saat sedang junub, haids dan nifas.
Seorang muslimin yang melakukan i’tikaf tidak dianjurkan untuk sibuk dengan urusan duniawi, seperti jual beli dan berdagang karena tidak relevan dengan tujuannya.
I’tikaf itu sendiri akan rusak apabila seseorang keluar dari masjid tanpa alasan yang mendesak, kecuali untuk buang hajat ataupun wudhu/ mandi.
Diriwayatkan oleh Aisyah ra, ia berkata:” Ketika sedang melakukan i’tikaf, Rasulullah saw sering tidak masuk ke rumah, kecuali untuk kebutuhan manusia.”
Rasulullah saw selalu i’tikaf di 10 hari terakhir ramadhan.
Dari Aisyah ra, ia berkata:” Rasulullah saw bila memasuki 10 hari terakhir bulan ramadhan, beliau mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.”
Dalam hadits Aisyah ra lainnya, bahwasanya Nabi saw selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan ramadhan sampai beliau wafat, kemudian istri istri beliau ber’itikaf sepeninggalnya.”