SURABAYAONLINE.CO, Surabaya – Isu ketenagakerjaan, termasuk perihal hubungan industrial, buruh, pekerja dan ekonomi makro di Indonesia tidak pernah ‘turun pentas’ dari isu utama di Indonesia. Seakan, isu
ini menjadi ‘isu wajib’ yang selalu hadir tiap tahun dan seakan tidak pernah terselesaikan.
World Bank (2024) mencatat inflasi global mencapai 6,8% hingga akhir tahun 2024,
kondisi tersebut diperparah dengan ketimpangan domestic di negara kita tercinta, analogi
paling ironis menurut Oxfam (2024) adalah : 1% orang terkaya menguasai 47% kekayaan
nasional.
Sementara, upah buruh hanya tumbuh 1,2% per tahun (BPS, 2024) belum
disertai berbagai potongan oleh perusahaan, kenaikan upah buruh tidak berbanding
signfikan dengan harga sembako yang melonjak tinggi hingga 12%-15% (Kemenkeu,
2025). Tentu, realitas ini bukan lelucon, bukan hanya untuk dimaknai, terlebih, peringatan
May Day 2025 bukan sekedar seremoni belaka, tetapi harus menjadi titik balik
kontemplasi dan gerakan perlawanan serta penyadaran kolektif terhadap ‘sesuatu yang
tidak beres’ pada penyelenggaraan negara dan pemerintah. Maka, dengan berbagai
situasi kondisi realitas yang terjadi serta sajian data yang cukup ‘ironi’ belakangan ini;
SAPMA PP Jawa Timur bersama ini menyatakan sikap diantaranya :
1. Omnibus Law (Jilid 2) merupakan simbol ketidakadilan dan ketidaksetaraan
negara terhadap buruh dan pekerja, dengan dalih memperluas fleksibilisasi
tenaga kerja, maka, implementasi Omnibus Law yang diinginkan pemerintah
harus di-‘barengi’ dengan berbagai koreksi dan tinjauan kembali hal-hal yang
merugikan kaum buruh dan pekerja seperti perpanjangan masa kontrak
outsourcing hingga 5 tahun hingga penghapusan sanksi bagi perusahaan yang
melanggar UU K3. Sebaliknya, kami menyarankan pemerintah untuk dapat
menegakkan aturan upah layak sesuai KHL BPS 2025;
2. UMP Jatim tahun 2025 yang hanya Rp. 3,4 juta dengan garis kemiskinan di Jatim
yang berada pada angka Rp 3,2 Juta (BPS, 2025) berbanding terbalik dengan laba
5 konglomerasi besar domestik yang naik 34% hingga akhir 2024 (Forbes Asia,
2025), maka : UMK sesuai standar KHL dan tunjangan inflasi harus menjadi
solusi untuk menghindarkan buruh dan pekerja hidup ‘tipis’ diatas garis
kemiskinan;
3. Survey Angkatan Kerja BPS tahun 2024 mencatat, 75% sarjana lulusan perguruan
tinggi terpaksa bekerja ‘serabutan’ dengan upah dibawah Rp. 2 juta, hal ini disebabkan selain sempitnya lapangan kerja, pemerintah dinilai ‘kesulitan’
melakukan kontrol terhadap aturan ketenagakerjaan dilapangan hingga realisasi
lapangan pekerjaan yang menyebabkan TPAK domestik semakin meninggi, maka
: Pemerintah perlu mengkaji ulang aturan Batasan usia dan persyaratan
bekerja formal menjadi lebih fleksibel namun tetap pada koridor, kewajaran
dan prinsip profesionalitas kerja;
4. Ketidakjelasan status kontrak kerja, aturan-main bekerja diberbagai perusahaan
termasuk kasus CV Sentosa Seal tempo waktu lalu di Surabaya yang diindikasikan
melakukan penahanan ijazah karyawan dan persoalan pengupahan harus
menjadi perhatian penting, pemerintah harus berbenah soal fungsi kontrol dan
pengawasan ketenagakerjaan kedepan, sanksi tidak boleh terbatas hanya kepada
‘Badan Hukum / Perusahaan’ semata, namun harus mengikat pada ‘si pemberi
kebijakan’ agar dapat membawa efek jera dan peningkatan kepatuhan terhadap
aturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga, sudah tidak ada lagi
permainan status kontrak pkerja, upah tidak sesuai hingga penahanan hak
pekerja.
Demikian rilis pernyataan sikap PW SAPMA PP Jatim pada peringatan hari buruh tahun
2025 ini sebagai wujud nyata bangunan kerangka aksiologi perjuangan kelas melalui
pengorganisasian ‘kritik’ menuju ‘kekuatan’ dan ‘perlawanan’ yang nyata dan membawa
manfaat (juga maslahat) bagi rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Akhirnya, selamat
merayakan Hari Buruh dan selamat mengamalkan prinsip ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia’ di Pancasila, terus bergerak dan melawan ketidakadilan dan
ketidaksetaraan. (ega)