Oleh: Hadi Prasetya
Chucky Manis Berubah Jahat
SURABAYAONLINE.CO – “Child’s Play” (1988) adalah film horor klasik yang disutradarai oleh Tom Holland dan ditulis oleh Don Mancini cs. Film ini menceritakan tentang seorang ibu tunggal, Karen Barclay, yang memberikan boneka “Good Guy” kepada putranya Andy untuk ulang tahunnya. Namun, boneka (Chucky) tersebut ternyata dirasuki oleh roh Charles Lee Ray, seorang pembunuh berantai yang menggunakan sihir voodoo untuk memindahkan rohnya ke boneka tersebut.
“Child’s Play” telah menjadi film kultus yang sangat populer dan telah menjadi ikon horor yang sangat dikenal dan dihormati di kalangan penggemar film horor.
Akhir cerita berpusat pada upaya Andy dan ibunya, Karen, untuk menghentikan Chucky yang telah menjadi boneka pembunuh setelah roh Charles Lee Ray berpindah ke dalamnya. Setelah beberapa upaya gagal untuk menghentikan Chucky, Andy dan Karen akhirnya mengetahui bahwa cara satu-satunya untuk menghancurkan Chucky adalah dengan menembak jantungnya. Chucky mencoba untuk membangkitkan boneka-boneka lain untuk menyerang mereka, namun Mike berhasil menembak Chucky di jantungnya, sehingga Chucky akhirnya mati.
Chucky-isme
Kisah Chucky bukan sekedar cerita horor hiburan tetapi juga bisa menjadi studi analitik tentang kuasa jahat dibalik kekuasaan formal.
Cerita versi politik, dilatarbelakangi situasi suatu negeri, yang dikendalikan oleh sistem oligarki kekuasaan (kolaborasi para konglomerat superkaya dan pengusaha abu-abu kehitaman). Negeri ini baru belajar berdemokrasi, tidak ada pemimpin kharismatik, memiliki multi partai tetapi tidak ada yang dominan. Para elite dan masyarakat banyak yang oportunis, karena rata-rata pendidikan rendah, banyak penganggur dan orang miskin.
Tiba-tiba seorang rakyat biasa berprofesi pengusaha kecil yang tidak terlalu populer dilingkungan lokal domisilinya, di”branding” habis-habisan oleh sistem oligarki kekuasaan (dan konglomerat) menjadi sosok populer, unik, kerakyatan dan menjadi harapan masyarakat.
Selama beberapa dekade sebelumnya penampilan rezim dianggap membosankan, menipu dan tidak merakyat sehingga psikologi massa jenuh (languishing). Branding di desain merespon kejenuhan publik dengan memberi figur yang berbeda sama sekali. Alhasil ada perubahan preferensi publik secara masif terhadap figur harapan.
Yang membranding dengan cerdas adalah kelompok oligarki kekuasaan (konglomerat) dengan para konsultan politik yang hebat, dengan agenda tersembunyi untuk merubah struktur konglomerasi dean memperkokoh kekuasaan oligarkis yang mulai redup.
Tokoh yang dibranding masuk dalam fase dua untuk dijadikan sosok pemimpin ‘boneka’ yang dipoles kekuasaan formal. Desain awalnya manis ramah namun pada akhirnya menjadi begitu jahat karena misi dan skenario sejak semula memang adalah kekuasaan yang serakah. Seperti sosok chucky dalam film “Child’s Play”, yang awalnya “Good Guy”pada akhirnya menjadi sosok jahat yang membawa banyak korban.
Apakah cerita versi politik ini benar-benar bisa terjadi dalam negeri dunia nyata kontemporer terkait fakta sejarah dan budaya?
Peran Konglomerat dan Kapital (Uang) dalam Membangun Pemimpin “Boneka”
Dalam sejarah politik modern, terutama di negara pasca-kolonial atau pasca-reformasi, konglomerat sering menjadi aktor kunci dalam membiayai kandidat politik. Hal ini terjadi karena kebutuhan akses ke sumberdaya strategis seperti tambang, energi, atau infrastruktur yang perlu dukungan politik untuk mendapatkan izin, monopoli, atau perlindungan hukum. Hal ini bisa merujuk situasi oligarki di Rusia pasca-Soviet (1990-an) yang mendukung kekuasaan untuk mengamankan konsesi.
Model Clientelism yaitu sistem patronase, dimana pengusaha menyuntikkan dana ke politik dengan imbalan kebijakan yang menguntungkan. Model ini tercatat dalam berbagai referensi terjadi di Filipina, dimana keluarga oligarki seperti Marcos atau Duterte menggunakan kekayaan untuk membangun jaringan politik.
Dalam masyarakat dengan sejarah feodal atau kolonial, relasi kuasa sering dibangun melalui transaksi ekonomi, bukan ideologi. Pemimpin “biasa” yang di-branding sebagai “orang sederhana jujur” bisa menjadi wajah yang mudah dikendalikan untuk menutupi kepentingan oligarki. Sejarah mencatat seperti di Brasil, pengusaha agribisnis dan konstruksi mendanai kampanye politisi seperti Jair Bolsonaro untuk melonggarkan regulasi lingkungan dan tenaga kerja.
Dalam negara dengan demokrasi rapuh, uang bisa menggerogoti institusi melalui korupsi sistemik. Sejarah kolonial sering mewariskan birokrasi yang korup dan mudah disusupi. Di Meksiko, kartel narkoba menyuap aparat penegak hukum dan politisi untuk melindungi bisnis ilegal.
Di negara seperti Myanmar atau Mesir, militer memiliki bisnis sendiri (pertambangan, konstruksi) dan menggunakan kekuasaan untuk melindungi kepentingannya. Mereka bisa menjadi “penjamin” bagi oligarki jika ada kesepakatan bagi hasil.
Budaya impunitas (kekebalan hukum) dalam masyarakat dengan trauma konflik atau otoritarianisme, publik cenderung toleran terhadap pelanggaran hukum jika dianggap “bermanfaat” secara ekonomi.
Bagamana Mekanisme Pengendaliannya?
Sistem kekuasaan oligarkhhi melakukan ‘pengendalian’ melalui beberapa mekanisme:
Pertama, sering menggunakan pembentukan jaringan korporasi-militer. Menurut catatan sejarah di Thailand, junta militer sering berkolaborasi dengan konglomerat properti dan pariwisata.
Kedua, pemerasan melalui skandal. Oligarki bisa menyimpan dokumen kompromat (bukti korupsi, pelanggaran HAM) untuk memeras pejabat atau institusi.
Ketiga, pendanaan kampanye ke partai/ Parlemen. Parlemen yang lemah bisa menjadi “tukang stempel” kebijakan pro-oligarki
Daya Tahan Oligarki.
Setelah pemimpin boneka lengser, oligarki biasanya tetap berkuasa karena infrastruktur ekonomi yang dibangun telah mantap terkonsolidasi. Kontrol atas tambang, media, atau sektor strategis memungkinkan oligarki mempengaruhi kebijakan jangka panjang.
Seperti di Ukraina pasca-Uni Soviet, oligarki Rinat Akhmetov tetap dominan meski presiden berganti. Disamping itu jaringan kekuasaan sudah terinstitusionalisasi sehingga oligarki tidak bergantung pada satu pemimpin, tetapi pada sistem yang mereka ciptakan (partai politik, LSM, media). Jika masyarakat apatis atau tidak kritis, oligarki bisa terus mereproduksi kekuasaan melalui pemimpin baru.
Jika negara sudah terperangkap dalam lubang sumur dalam bergantung pada investasi konglomerat, pemerintah baru pun sulit menghapus pengaruh mereka.
Meskipun daya tahan oligarki cukup kuat, jika pemimpin boneka menjadi terlalu populer atau mandiri, mereka bisa berbalik melawan oligarki seperti kisah Hugo Chavez di Venezuela awalnya didukung elit, lalu berubah.
Branding Pemimpin.
Masyarakat dengan budaya feodal cenderung melihat pemimpin sebagai “pelindung” atau “bapak”, bukan representasi rakyat. Ini memudahkan pembentukan citra pemimpin populer yang dibacking kelompok oligarki.
Distrust pada Institusi dimanfaatkan. Sejarah penjajahan atau otoritarianisme membuat publik skeptis pada partai politik, sehingga figur “luar sistem” lebih mudah diterima.
Materialisme sebagai nilai juga menjadi salah satu strategi branding. Dalam masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, janji pembangunan ekonomi (oleh oligarki) lebih menarik daripada ideologi.
Dalam sistem oligarki, pemimpin boneka adalah produk transaksi antara modal dan politik. Mereka bisa diciptakan melalui pembiayaan besar-besaran, tetapi daya tahannya tergantung pada seberapa dalam oligarki mengakar di institusi dan budaya. Meski pemimpin berganti, oligarki sering bertahan karena mengontrol sumber daya dan memanfaatkan kelemahan struktural demokrasi muda. Perubahan hanya mungkin terjadi melalui gerakan reformasi sistemik, penguatan institusi, dan kesadaran kritis masyarakat.
Chucky-isme di Indonesia
Sistem kekuasaan di Indonesia apa bersifat oligarkis? Masyarakat umum dan intelektual mencium bau kuat oligarki berpola chucky-isme, walau tentu akan dibantah habis-habisan oleh rezim dengan buzernya.
Peristiwa akhir-akhir ini yang gencar dibicarakan masyarakat, kecurigaan adanya cawe-cawe mantan yang di luar kekuasaan formal ternyata masih kuat bahkan menyusup ke institusi sakral seperti militer dan penegak hukum. Kalau tidak ada peran kelompok oligarki tidak mungkin terjadi, karena modal (uang) adalah jaminan kesejahteraan setelah tidak berkuasa (pensiun).
Mungkin ada benarnya pepatah ini. Hasil dari bekerja adalah uang. Hasil dari uang adalah lebih banyak uang. Hasil dari lebih banyak uang adalah kompetisi yang ganas. Hasil dari kompetisi yang ganas adalah dunia yang kita diami saat ini, baik dunia ekonomi, sosial dan politik yang nyatanya makin brutal.
Juga pepatah terkait. Keculasan dan pengkhianatan demi uanglah yang menjadi simbol utama zaman sekarang ini.
Lalu cerita ini kembali ke babak akhir dari film Child’s Play.
Dalam keterdesakannya Chucky (si boneka berisi roh jahat) mencoba untuk melawan secara membabibuta, dengan membangkitkan boneka-boneka jahat lain untuk menyerang mereka, namun Mike berhasil menembak Chucky di jantungnya, titik lemahnya, sehingga Chucky akhirnya mati, dan roh jahat Charles Lee Ray (CLR) keluar dari tubuh Chucky dan bergentayangan mencari calon Chucky baru.
Roh jahat CLR merupakan metafora dari nafsu kekuasaan dan kekayaan para oligarki konglomerat yang menembus ‘outer limit’ kemanusiaan dan keadilan universal.
Tetapi roh jahat para oligarki dan konspirator belum mati sampai akhir zaman, akan terus berkelana mencari ‘boneka chucky’ yang setia dan patuh. Mencari sosok yang santun, layak jual secara politis, walau ambisus, culas, serakah dan mementingkan diri sendiri dan keluarga. Boneka chucky yang pada akhirnya jadi tumbal abadi dalam perang kebaikan melawan kejahatan.
Mudah-mudahan roh jahat CRL tidak gentayangan di negeri ini tetapi beroperasi di negeri lain, karena rakyat negeri ini sudah begitu lelah, menderita, terintimidasi dan makin hilang harapan dari suatu sistem yang mengabaikan keadilan sosial (seperti sila ke-5 dalam Pancasila).
Daftar Bacaan:
– “Oligarchy” (2011) oleh Jeffrey A. Winters
– “The Dictator’s Handbook: Why Bad Behavior is Almost Always Good Politics” (2011) oleh Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith,
– Capital in the Twenty-First Century” (2014) oleh Thomas Piketty
– “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” (2012) oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson,
– The Political Economy of Authoritarianism” (2020) oleh Milan W. Svolik,
– “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2013) oleh Richard Robison,
– “Political Business in East Asia” (2002) oleh Edmund Terence Gomez .
– Anarchy of Families: State and Family in the Philippines” (2009) oleh Alfred W. McCoy,
– The Rise of the Military in Politics: The Case of Latin America” (2020) oleh Karen L. Remmer,
– “Putin’s Kleptocracy: Who Owns Russia?” (2014) oleh Karen Dawisha
– “The Vory: Russia’s Super Mafia” (2018) oleh Mark Galeotti,
– “The Military and Democracy in Asia and the Pacific” (2004) oleh Ronald J. May dan Viberto Selochan.