Oleh: Hadipras
Proloog
SURABAYAONLINE.CO – Bagi yang pernah bermain layang-layang dan adu benang yang digelas (sambitan) era 60-70an, dikenal merk benang yang ulet dan hampir selalu menang sambitan, merk/cap “Sayap”. Sebaliknya benang gelasan yang hampir selalu kalah sambitan, ber merk cap “Koepoe”.
Lalu, cobalah banyak traveling dan cermati produk-produk manufakturing yang diperjual belikan. Produk apapun. Kira-kira berapa persen yang 100% made in Indonesia? Berapa persen yang asembling? Berapa persen yang import 100%? Mungkin benang gelasan pun sudah tidak lagi produk domestik tapi import seiring dengan bangkrutnya indusri textil.
Dalam RPJPN target kontribusi sektor industri 2045 mencapai 28-30% GDP, saat ini posisi sekitar 18% dan dalam RPJMN 2029 ditargetkan 20.9%.
Persoalannya bukan pada target persen kontribusinya, tetapi sektor industri pengolahan/manufacturing dalam konsep ekonomi sekurangnya diandalkan memberi 3 peran vital: lapangan kerja (terutama limpahan angkatan kerja bonus demografi), kemandirian-daya saing, dan nilai tambah (added value) yang berujung pada pendapatan penduduk.
Tenaga kerja sektor industri inilah yang mewarnai ekonomi masyarakat kelas menengah, yang tahun lalu dinyatakan merosot 9 juta, dan menjadi salah satu alasan daya beli masyarakat ikut merosot (baca: mémblé). Daya beli versi “cap Koepoe”
Sektor “Stunting”?
Suatu negara dengan sumberdaya alam (SDA) berlimpah seperti Indonesia, untuk bisa menjadi negara yang maju dan kaya (makmur), pilihan yang tepat dan taktis adalah mengutamakan penciptaan nilai tambah (added value) setinggi-tingginya dari SDA yang dimiliki melalui industrialisasi, agar bisa dinikmati (redistributif) sebagai pendapatan – kesejahteraan penduduknya.
Berbeda dengan Singapore (baru merdeka 1965), misalnya, dengan SDA yang minim, pilihan sebagai hub perdagangan, bisnis dan keuangan menjadi strategi utamanya. Dilakukan dengan fokus dan serius, sejak masa Lee Kuan Yew, dan menghasilkan SDM yang kompeten, dapat dipercaya (trustable) serta sangat produktif. Faktanya Singapore memang telah mencapai sukses menjadi negara dengan pendapatan per kapita sangat tinggi.
Prihatin juga melihat kenyataan bahwa pendapatan perkapita Singapore 2023-2024 sudah melejit pada USD 88.450; Thailand USD 7.230 hampir 2x lipat Indnesia, Indonesia USD 4.580, dan alhamdulillah masih menang dari. Vietnam USD 4.280. Hidup Timnas!
Maka menarik untuk introspeksi diri, apakah strategi dan fokus industrialisasi di RI sejak REPELITA 1 (1970) hingga saat ini sudah on-track dan memenuhi harapan? Apa ada yang salah dalam strategi pembangunan industrialisasi di Indonesia? Sektor industri memang tumbuh, tapi kurang berkembang kuat dan kokoh (alias kerdil, stunting, atau cap koepoe)?
Beberapa masalah Fundamental
Kalau mencermati ke dalam sektor industri di Indonesia, faktanya industri manufaktur masih di dominasi “assembly” ketimbang “real manufacturing”, sehingga value-added yang diperoleh rendah.
- Sub sektor otomotif: 80% masih berupa assembling komponen impor (mesin, transmisi, elektronik). Produsen seperti Toyota atau Honda lebih banyak merakit ketimbang memproduksi komponen kunci secara lokal.
- Pada sub sektor elektronik, lebih pada final assembly (misalnya TV, ponsel) dengan kandungan lokal di bawah 40%. Dampaknya, nilai tambah rendah, ketergantungan impor tinggi, dan rentan terhadap guncangan rantai pasok global.
- Yang makin ngenes, berdasarkan data BPPS 2023, usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang begitu dibanggakan penguasa negeri (dari pemilu ke pemilu, tentu sambil tepuk dada, telah memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 60-63%, ternyata didominasi perdagangan-jasa 60% (perlu dicatat, mungkin termasuk re-selling produk import). Jika besaran kontribusi UMKM dibagi dengan jumlah pekerja (dan keluarga ditanggung) yang jumlahnya hampir 90% tenaga kerja, jatuhnya pendapatan per kapita rendah. Lagi-lagi cap “Koepoe”
- Sementara itu UMKM yang berupa industri pengolahan hanya 15%. Dari yang 15% ini, sekitar 80% nya merupakan UMKM yang didominasi makanan/minuman. Sedang yang berbasis teknologi manfacturing (seperti mesin atau kimia) hanya 5%. Mungkin jarum pentul, peniti masih berbau import setidaknya bahan bakunya.
- Pada umumnya UMKM industri pengolahan tingkat minatnya berinovasi rendah sampai sedang, karena keterbatasan akses teknologi, modal, dan pasar. Produktivitas relatif stagnan dimana nilai output per pekerja UMKM industri hanya sekitar 30% dari perusahaan besar.
Pada industri besar ketergantungan impor bahan baku sangat tinggi. Contoh: Industri tekstil, impor 70% bahan baku serat/serat sintetis (wajar kalau pada tutup dan PHK), sementara industri farmasi 90% bahan aktif dari luar negeri. Dampaknya terjadi defisit neraca perdagangan sektor manufaktur dimana tahun 2023: defisit USD12 miliar karena bahan baku industri.
Industri besar pengolah bahan makanan/minuman relatif maju, karena faktor keunggulan komparatif alamiah bahan baku lokal yang melimpah (kelapa sawit, kakao, kopi, dll.). Disisi lain permintaan domestik stagnan (kebutuhan pokok).
Regulasi yang mendukung hilirisasi wajib untuk komoditas seperti sawit dan nikel, relatif baru beberapa tahun terakhir diintensifkan. Sebagian proses pengolahan relatif terbatas (mentah menjadi 1/4, 1/2 jadi) tidak memerlukan teknologi tinggi seperti otomotif/elektronik.
Industri manufaktur di Indonesia kurang penekananan kompetisi global. Pasar domestik yang besar menyebabkan produsen kurang terdorong untuk naik kelas ke ekspor bernilai tambah tinggi. Ibarat adu benang layang, tidak mau produksi benang cap “Sayap” tetapi cap Koepoe” saja cukup.
Beberapa indikasi Kegagalan Kebijakan Industrialisasi
Memang pahit, tetapi toh harus dihadapi secara ksatria. Beberapa indikasi kegagalan kebijakan industrialisasi:
- Lemahnya Integrasi Rantai Pasok. Contoh: Industri otomotif tidak mampu mengembangkan klaster komponen lokal seperti yang terjadi di Thailand yang mengekspor 50% komponennya.
- Insentif fiskal tidak tepat sasaran, kurangnya transfer teknologi dari FDI.
- Riset dan Pengembangan (R&D) Minimal. Anggaran R&D Indonesia hanya 0.2% dari GDP (vs. Vietnam 0.5%, Korea Selatan 4.8%). Di Pemda-pemda, penelitian berkutat pada kebijakan publik yang itu-itu saja. Proposal penelitian yang inovatif tapi masih gagal uji coba, jadi incaran lembaga hukum.
- Mayoritas paten industri dipegang oleh perusahaan asing.
- Kesenjangan Skill Tenaga Kerja. Data Kemenaker (2024) hanya 12% pekerja industri memiliki sertifikasi kompetensi. Pendidikan vokasional belum link-match dengan kebutuhan industri (misalnya: kurang ahli di bidang precision machinery). Lagi-lagi pendidikan vokasi masih versi benang cap Koepoe.
Industri Dasar Kurang Mampu Mendukung Industrialisasi Cepat.
Industri dasar memainkan peran yang sangat penting dalam industrialisasi negara. Industri dasar adalah industri yang menghasilkan bahan baku dan komponen yang digunakan sebagai input oleh industri lain.
Jenis industri dasar yang paling pokok dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain: Industri baja, kimia, karet, plastik, Energi, logam (aluminium, tembaga, besi).
Peran industri dasar sangat vital, untuk: meningkatkan kemandirian, nilai tambah, efisiensi dan daya saing dengan harga kompetitif
Perkembangan beberapa industri dasar Indonesia yang dibangun sejak era 1970-an faktanya mengalami penurunan atau kesulitan bersaing, sehingga saat ini Indonesia masih mengimpor sejumlah produk seperti baja dan bahan kimia.
Berikut beberapa gambaran situasi industri dasar:
- Industri baja nasional, seperti PT Krakatau Steel (KS), masih bergantung pada impor bijih besi dan bahan baku lainnya, padahal Indonesia memiliki cadangan bijih besi. Namun, pengolahan bijih besi lokal belum optimal karena keterbatasan teknologi dan investasi. Baja dari China dan India seringkali dijual dengan harga lebih murah, membuat produk lokal kalah bersaing.
- Krakatau Steel sempat mengalami masalah manajemen dan utang yang besar, mengurangi kemampuan produksi dan inovasi.
- Industri kimia Indonesia, kurang terintegrasi hulu-hilir, seperti pupuk dan petrokimia, masih bergantung pada impor bahan baku seperti gas dan minyak mentah. Harga gas domestik yang tidak kompetitif juga memengaruhi produksi.
- Indutri dasar menggunakan teknologi yang tertinggal. Banyak pabrik kimia dibangun puluhan tahun lalu dengan teknologi lama, sehingga kurang efisien dibandingkan dengan produk impor.
- Impor Bahan Kimia Khusus, seperti katalis dan polimer karena industri dalam negeri belum mampu memproduksi.
- Perpolitikan yang naik turun menyebabkan kebijakan tidak konsisten. Perubahan regulasi dan proteksi industri yang tidak konsisten membuat iklim investasi kurang menarik.
- Infrastruktur dan Logistik yang kurang memadai serta biaya logistik yang tinggi mengurangi daya saing produk lokal (belum lagi pungli dan pemalakan)
- Kurangnya Inovasi dan SDM karena kemajuan Industri dasar membutuhkan teknologi tinggi dan tenaga ahli, yang masih terbatas di Indonesia.
Beberapa upaya Pemerintah untuk memperbaiki kinerja sektor industri:
- Peningkatan Nilai Tambah Mineral (larangan ekspor bijih nikel/bauksit) untuk mendorong industri pengolahan dalam negeri
- Pembangunan Kawasan Industri Terpadu (seperti di Batang dan Morowali) untuk meningkatkan efisiensi.
- Insentif untuk Industri Petrokimia dan Baja (seperti tax allowance dan kemudahan impor mesin).
Namun, transformasi industri dasar membutuhkan waktu dan investasi besar. Selama masalah efisiensi, teknologi, dan kebijakan belum sepenuhnya teratasi, ketergantungan impor untuk baja dan kimia masih akan berlanjut.
Apa yang Perlu Diubah?
- Kebijakan Berbasis Value-Added. Contoh, mewajibkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) progresif untuk sektor strategis (e.g., otomotif listrik).
- Subsidi selektif untuk UMKM yang naik kelas ke industri pengolahan (misalnya metalworking atau chemical precursors).
- Revolusi Pendidikan Vokasi. Gandeng Jerman/Jepang untuk kembangkan pusat pelatihan advanced manufacturing (seperti Industry 4.0 skill center).
- Insentif untuk Riset Terapan. Misal skema pajak super-deduction (200%) untuk perusahaan yang berkolaborasi dengan universitas dalam R&D.
- Fokus pada “Niche Market” Global dengan memanfaatkan tren hijau ekspor komponen baterai EV (nikel Indonesia = 22% cadangan dunia),
Industri Indonesia memang tumbuh, tapi tidak berkembang (growth without upgrading) karena mentalitas “assembly-based economy”, kurangnya industrial upgrading, dan kebijakan yang tidak fokus pada value-added.
Solusinya tidak cukup dengan insentif makro; perlu intervensi mikro di level rantai pasok, SDM, dan teknologi.
Seyogyanya Pemerintah lebih terbuka untuk membenahi strategi dan fokus sektor industri. Jangan masyarakat diberi harapan dengan istilah yang keren-keren seperti data capaian Purchading Managers Index (PMI) atau Index Produksi Industri (IPI) yang menghibur, padahal kerangka fundamental industrialisasi di Indonesia sejatinya rapuh (seperti benang Cap Koepoe) dan tidak fokus.
Epiloog
Lalu kapan Indonesia jadi negara maju dengan pendapatan per kapita > USD 50.000 di Indonesia Emas 2045? Kapan slogan “Made in Indonesia” berdiri sejajar dengan “Made in China 2025” atau Made in USA dan Made in Japan, Made In Korsel?.
Apakah industrialisasi berbasis bahan baku import salah atau justru cerdas? Mungkin cerdas untuk hal-hal tertentu, dan mungkin dungu untuk hal-hal lain. Tergantung sikon penguasa yang pejabat bernaluri bisnis (sebut merangkap pebinis), yang sangat pragmatis. Manapun-lah asal ada “cuan”.
Maka untuk mencapai pendapatan perkapita > USD 50.000 jelas berat, ketika demokrasinya masih penuh warna-warni muslihat, dan melahirkan pemimpin-pemimpin yang kurang kompeten (tapi legal).
Demokrasi warna-warni memang cenderung lebih memillih sosok yang populer, “nyelebritis”, ngelawak konyol, dan juga petualang. Isi kabinetnya bisa jadi unik. Walau ada yang gelar intelektualnya berlipat-lipat, berbintang-bintang, tetapi sulit berkinerja dalam platform yang pragmatis (banget).
Karakter birokrasi di semua lini makin kental dengan aroma kekuasaan, persaingan, opportunisme. Idealisme dan patriotisme warisan pejuang kemerdekaan, makin terkikis. Peduli amat dengan masa depan dan kehormatan sebuah bangsa. Woow!
Lalu, mega korupsi dan skandal abuse of power, mungkin masih akan mewarnai berita media! Dan sebagian (besar?) rakyatnya cuek saja, entah karena bermental bansos, entah opportunis untuk uang, jabatan, atau bisnis.
Apapun, impian agar Indonesia bisa mencapai pendapatan perkapita > 50.000 jangan hilang. Setidak-tidaknya bisa menjadi “kaca benggala” pengingat bagi rezim ke rezim, untuk berjuang, bukan bernikmat-ria.
Kayaknya jalan penderitaan memang masih panjang. Semoga dari para mahasiswa dan pemuda lahir sosok pemimpin tangguh yang nggak perlu orasi berbusa-busa, gak perlu pansos dengan bagi-bagi bansos. Juga gak perlu blusukan sampai kecemplung got, karena sibuk jalan sambil omon-omon, klecam-klecem bak aktris atau aktor.
#salam_cap_koepoe