SURABAYAONLINE.CO – Obat antidepresan fluvoxamine disebut dapat meringankan dan mengurangi risiko penyakit Covid-19 yang parah hingga hampir sepertiga pada orang yang berisiko tinggi.
Menurut laporan peneliti pada Rabu (27/10) kemarin, sebuah uji coba di antara sekitar 1.500 pasien di Brasil menunjukkan mereka yang menggunakan obat, yang dikenal sebagai fluvoxamine, cenderung tidak berkembang menjadi penyakit parah dan memerlukan rawat inap.
Sebagaimana dilansir CNN, obat yang dijual dengan merek Luvox, merupakan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) yang paling sering digunakan untuk mengobati gangguan obsesif kompulsif (OCD) dan depresi.
Namun, itu dapat memengaruhi peradangan, menurut Angela Reiersen, seorang profesor psikiatri di Universitas Washington di St. Louis yang mengerjakan penelitian tersebut, yang diterbitkan dalam The Lancet Global Health.
“Fluvoxamine dapat mengurangi produksi molekul inflamasi yang disebut sitokin, yang dapat dipicu oleh infeksi SARS-CoV-2,” kata Reiersen dalam sebuah pernyataan.
Obat ini juga dapat mengurangi trombosit darah, yang dapat memengaruhi efek pembekuan dari infeksi virus corona.
Reiersen dan rekan penelitiannya memberi 741 sukarelawan dengan Covid-19 100 mg fluvoxamine dua kali sehari selama 10 hari sementara 756 sukarelawan mendapat plasebo.
Di antara pasien yang mendapat fluvoxamine, 79 – atau sekitar 11 persen – membutuhkan perawatan di UGD atau kamar rumah sakit. Sementara mereka yang diberi plasebo, hampir 16 persen membutuhkan perawatan di UGD atau rumah sakit.
Kendati demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk melihat apakah obat itu dapat ditambahkan ke perawatan yang diberikan kepada pasien virus corona.
Peneliti pun menegaskan bahwa ini bukan obat Covid-19, tetapi jika dapat membantu pasien keluar dari rumah sakit, itu akan berguna.
“Mengingat keamanan fluvoxamine, tolerabilitas, kemudahan penggunaan, biaya murah, dan ketersediaan luas, temuan ini dapat memengaruhi pedoman nasional dan internasional tentang manajemen klinis Covid-19,” kata tim peneliti.
Peneliti juga memberi catatan bahwa penelitian ini bukan studi yang sempurna karena dilakukan di Brasil dan pasien memiliki tingkat rawat inap yang lebih tinggi daripada pasien Covid-19 dalam uji klinis lainnya.(Nug)