SURABAYAONLINE.CO-Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan mengatakan masih berupaya mengevakuasi warga yang terdampak banjir dan longsor di 10 kota dan kabupaten, yang sejauh ini menyebabkan 30 orang meninggal dunia dan 25 lainnya hilang.
Hingga Kamis (24/1) pukul 14.00 WIB atau dua hari setelah banjir melanda, BPBD Sulawesi Selatan mencatat 78 desa terdampak bencana di 52 kecamatan yang tersebar di 10 kabupaten/kota.
Ke-10 kabupaten/kota itu mencakup Kabupaten Jeneponto, Maros, Gowa, Kota Makassar, Soppeng, Wajo, Barru, Pangkep, Sidrap, dan Bantaeng.
“Sebanyak 30 orang meninggal dunia, 25 orang hilang, 47 orang luka-luka, dan 3.321 orang mengungsi” sebut juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.
Selain itu, banjir mengakibatkan 76 unit rumah rusak, 2.694 unit rumah terendam, 11.433 hektare sawah terendam banjir, sembilan jembatan rusak, dua pasar rusak, enam unit fasilitas peribadatan rusak, dan 13 unit sekolah rusak.
Sebelumnya, Hasriadi dari Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Sulsel, kepada wartawan BBC News Indonesia, Rivan Dwiastono, mengatakan Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Jeneponto menjadi tiga wilayah terdampak paling parah akibat banjir tersebut.
BPBD, Tim SAR, TNI/Polri, PMI hingga Tagana langsung terjun untuk mengevakuasi warga dari lokasi.
Status tanggap darurat pun masih akan diberlakukan hingga 14 hari ke depan. Namun status tersebut dapat diperpanjang menyesuaikan situasi di lapangan.
Terparah dalam 10 tahun terakhir
Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Devo Khaddafi, banjir dan longsor tahun ini menjadi bencana terbesar yang dialami Sulawesi Selatan selama satu dekade terakhir.
“Ini pasti salah satu yang terburuk yang pernah terjadi di Sulsel,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia, Rabu (23/1).

“Skala luas area yang terdampak pada bencananya yang paling luas, karena sekarang saja sudah 10 kabupaten yang terkena bencana. Kalau dulu kayaknya nggak sampai sebanyak ini,” tutur Devo melaui sambungan telepon.
Hujan lebat mulai mengguyur Sulawesi Selatan sejak Senin (21/1) lalu. Dengan intensitas yang lebat dan tanpa henti, hujan menyebabkan volume Bendungan Bili-bili di Kabupaten Gowa meningkat hingga ke level waspada.
“Kemarin itu ketinggiannya sampai +101,9 (meter), sudah di tingkat waspada,” kata Devo.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat cuaca yang cukup ekstrem terjadi sepanjang Senin (21/01) hingga Selasa (22/01) di pesisir barat Sulawesi Selatan.
“Di Maros (curah hujannya mencapai) 133 milimeter, terus di Hasanuddin juga (mencapai) 197 milimeter, nah ini memang sangat-sangat ekstrem (kondisi) seperti itu,” tutur Taufan Maulana, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BMKG, kepada BBC.
Curah hujan yang tinggi di kawasan tersebut diakibatkan oleh adanya daerah bertekanan rendah di sekitar Laut Timor. Selain itu, kelembaban yang tinggi disertai labilnya udara membuat pertumbuhan awan hujan sangat signifikan di sana.
Melihat ancaman jebolnya Bendungan Bili-bili jika hujan terus terjadi, maka pemerintah setempat, setelah berdiskusi dengan sejumlah instansi terkait, memutuskan untuk membuka pintu bendungan.
“Tanggal 22 (Januari) sore itu diambil keputusan untuk membuka spillway dari Bendungan Bili-bili agar ketinggian air yang ada di bendungan Bili-bili ini turun ke level normal lagi,” ujar Devo.

Namun ternyata pembukaan pintu bendungan berdampak pada meningkatnya volume Sungai Jeneberang yang kemudian meluap dan mengakibatkan banjir ke pemukiman di daerah aliran sungai (DAS) di wilayah Kabupaten Gowa.
“Pihak balai dan pengelola dari Bendungan Bili-bili itu segera melakukan early warning system, di mana itu memberikan pengumuman kepada masyarakat untuk lebih waspada dan untuk mulai melakukan pengungsian,” jelas Devo.
Ribuan warga mengungsi
Yunus, seorang pekerja media di Makassar, terjebak di rumahnya setelah hujan mengguyur selama dua hari-dua malam berturut-turut.
“Iya, terisolasi,” keluh Yunus saat dihubungi BBC, Rabu (23/1). “Listrik mati, air nggak ada. Susah kan orang. Makanan susah, orang nggak bisa keluar cari makanan.”
Sebenarnya rumahnya tak tergenang air. Namun, akses keluar dari rumah tempatnya tinggal terputus akibat banjir yang menggenangi wilayah di sekitar kompleks perumahannya. Akibatnya, ia tak bisa beraktivitas.

“Kebetulan tempat kompleks saya agak tinggi, terus sekelilingnya itu rendah, juga ada sungai, ada aliran rawa-rawa. Nah, itu yang meluap airnya, meluap sungainya,” ujar Yunus.
Rumahnya yang terletak di Kecamatan Manggala, Kota Makassar, berdekatan dengan aliran Anak Sungai Tallo, yang kerap meluap akibat intensitas hujan tinggi.
Yunus memutuskan untuk mengungsi sementara ke rumah sanak keluarganya.
Nasib yang menimpa Yunus juga diderita ribuan warga dari sembilan kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.
Sebagian dari rumah warga ada yang terendam sampai lebih dari dua meter.
Hingga Rabu (23/01), BPBD Sulsel mencatat lebih dari 1400 bangunan terendam, 25 di antaranya rusak berat.
Upaya untuk perbaikan berbagai fasilitas dan infrastruktur baru akan dilakukan setelah status tanggap darurat diangkat.
“Pada saat tanggap darurat sudah selesai, kita akan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi,” kata staf Pusdalops BPBD Sulsel, Hasriadi.
Penyebab banjir yang semakin parah di Sulsel
Banjir di Sulawesi Selatan, diakui Kabiro Humas Pemprov Sulawesi Selatan, Devo Khaddafi, merupakan bencana tahunan yang menerjang sejumlah wilayah di provinsi tersebut.
“Sebenarnya rutin. Tapi itu tadi, yang saya ngeh kan dia cuma per spot-spot aja. Tidak pernah yang sampai satu kabupaten yang mengungsi dua ribu lebih orang,” kata Devo heran.

Ia menjelaskan perlunya perbaikan di beberapa daerah aliran sungai (DAS) di sejumlah wilayah yang sudah berada dalam kondisi sangat kritis, seperti Sungai Jeneberang di Gowa dan Sungai Kelara di Jeneponto.
Devo juga menyebut adanya masalah di hulu sungai yang kemungkinan menjadi faktor utama semakin parahnya banjir yang terjadi tahun ini.
“Ada beberapa pengrusakan-pengrusakan yang berada di area hulu, sehingga ini juga akan menjadi perhatian pemerintah kabupaten dan provinsi untuk segera menangani kawasan-kawasan yang kritis ini, agar di tahun depan hal seperti ini bisa dicegah,” ujarnya.
Devo tidak menyebut siapa pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan di hulu sungai. hal tersebut.
“Kalau sejauh ini, karena di Sulsel, hampir dapat dikatakan pembalakan liar yang mungkin dilakukan oleh masyarakat. Tapi kami belum mendapatkan informasi yang lebih detil lagi terkait hal itu,” pungkasnya.(BBC)