Oleh: Hadi Prasetyo
Mengenal Profil Investasi
SURABAYAONLINE.CO – Dalam konteks keuangan, portfolio mengacu pada kumpulan investasi yang dimiliki oleh individu atau institusi, seperti saham, obligasi, reksadana, dan aset lainnya.
Tujuan utama portfolio adalah untuk memaksimalkan return (pengembalian) investasi sambil meminimalkan risiko. Hal ini dapat dicapai dengan diversifikasi, yaitu menyebarkan investasi ke berbagai jenis aset untuk mengurangi ketergantungan pada satu aset tertentu.
Jenis-jenis Investasi Portfolio:
- Portfolio Saham: terdiri atas saham-saham perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
- Portfolio Obligasi terdiri dari obligasi- obligasi pemerintah atau perusahaan.
- Portfolio Reksadana terdiri dari reksadana yang dikelola oleh manajer investasi.
- Portfolio Aset Riil terdiri dari aset-aset riil seperti properti, emas, dan komoditas lainnya termasuk aset digital.
Aset digital adalah kekayaan yang berbentuk digital, seperti dokumen, gambar, video, musik, perangkat lunak, dan mata uang kripto. Aset digital dapat diakses, diperjualbelikan, atau dikelola melalui platform digital.
Investasi portfolio diselenggarakan dengan Manajemen Portfolio meliputi
- Pembentukan Portfolio yaitu memilih aset-aset yang akan dimasukkan ke dalam portfolio.
- Pemantauan kinerja portfolio secara teratur.
- Penyesuaian Portfolio jika diperlukan untuk mempertahankan tujuan investasi. Investasi portfolio juga mencakup investasi derivatif yaitu jenis investasi yang nilainya diturunkan dari nilai aset dasar, seperti saham, obligasi, komoditas, atau mata uang. Investasi derivatif memungkinkan investor untuk memperoleh keuntungan dari pergerakan harga aset dasar tanpa harus membeli aset dasar itu sendiri.
Ada beberapa jenis derivatif:
- Opsi (Option) memberikan hak, tapi tidak kewajiban, untuk membeli atau menjual aset dasar pada harga tertentu.
- Futures kewajiban untuk membeli atau menjual aset dasar pada harga tertentu pada tanggal tertentu.
- Swap pertukaran aliran kas antara dua pihak berdasarkan nilai aset dasar.
- Forward, kesepakatan untuk membeli atau menjual aset dasar pada harga tertentu pada tanggal tertentu.
Kelebihan Derivatif:
- Hedging, derivatif dapat digunakan untuk mengurangi risiko investasi dengan memperkirakan pergerakan harga aset dasar.
- Leverage, derivatif memungkinkan investor untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan modal yang lebih kecil.
- Diversifikasi: derivatif dapat digunakan untuk diversifikasi portofolio investasi.
Kekurangan derivatif:
- Berisiko tinggi jika tidak digunakan dengan tepat dan benar.
- Ketergantungan pada aset dasar, dimana nilai derivatif sangat tergantung pada nilai aset dasar yang sering tidak menentu
- Derivatif memiliki struktur yang kompleks dan sulit dipahami. Orang yang kurang punya pemahaman cukup, sering menderita karena kerugian.
Menuju Bubble Ekonomi
Investasi portfolio yang tidak terkendali bisa menyebabkan ekonomi gelembung (bubble) karena leverage yang tinggi. Derivatif memungkinkan investor untuk menggunakan leverage yang tinggi, yang berarti mereka dapat memperoleh keuntungan yang besar dengan modal yang relatif kecil.
Sebagai perkiraan, investasi portfolio di dunia besarannya sudah lebih dari 560% dibanding investasi langsung sektor riil (56 kali lipat), berarti ekonomi dunia mungkin memang sudah bubble karena makin tidak seimbang dengan produksi sektor riil (barang dan jasa) yang digunakan untuk spekulasi, yaitu membeli atau menjual aset dengan harapan harga akan naik atau turun. Spekulasi dapat menyebabkan harga aset meningkat secara tidak wajar, sehingga menciptakan gelembung ekonomi.
Jika regulasi investasi portfolio tidak cukup ketat, maka investor yang cerdas dapat menggunakan derivatif untuk melakukan spekulasi dan menciptakan gelembung ekonomi.
Beberapa contoh krisis ekonomi dunia akibat Investasi portfolio dan derivatif:
- Krisis Keuangan 2008: Krisis keuangan 2008 disebabkan oleh gelembung ekonomi yang diciptakan oleh derivatif hipotek. Bank-bank dan lembaga keuangan lainnya membeli dan menjual derivatif hipotek yang tidak memiliki nilai dasar yang jelas, sehingga menciptakan gelembung ekonomi yang akhirnya meledak dan menyebabkan krisis keuangan.
- Krisis Keuangan Asia 1997: Krisis keuangan Asia 1997 (krismon) disebabkan oleh gelembung ekonomi yang diciptakan oleh derivatif mata uang. Investor membeli dan menjual derivatif mata uang yang tidak memiliki nilai dasar yang jelas, sehingga menciptakan gelembung ekonomi yang akhirnya meledak dan menyebabkan krisis keuangan bahkan krisis moneter di Thailand dan Indonesia.
Berdasarkan data dari Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya, investasi portofolio cenderung lebih besar dalam volume transaksi harian karena sifatnya yang lebih likuid dan mudah diperdagangkan di pasar keuangan.
Investasi portofolio meliputi pembelian saham, obligasi, dan instrumen keuangan lainnya, sementara investasi langsung melibatkan pembelian aset fisik seperti properti, pendirian perusahaan, atau akuisisi saham mayoritas dalam suatu bisnis.
Secara umum, investasi portofolio mendominasi pasar keuangan global karena kemudahan akses dan fleksibilitasnya. Namun, dalam hal nilai kumulatif jangka panjang, investasi langsung sering kali memiliki porsi yang signifikan karena sifatnya yang lebih stabil dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi riil.
Tanda-tanda Ekonomi Bubble
Apakah ekonomi dunia sudah ada tanda-tanda bubble? Ekonomi dunia saat ini memang menunjukkan beberapa tanda-tanda bubble economy. Salah satu tanda yang paling jelas adalah peningkatan harga aset dengan sangat cepat, seperti yang terjadi pada pasar saham dan properti . Termasuk pada banyak kasus start-up (misal e-Fishery).
Beberapa indikator, seperti rasio harga saham terhadap pendapatan (P/E ratio) yang tinggi, harga properti yang melambung, dan tingginya nilai pasar cryptocurrency, menunjukkan potensi gelembung di beberapa segmen pasar. Namun, tidak semua sektor dan tidak semua aset atau pasar berada dalam situasi gelembung. Beberapa sektor ekonomi riil masih tumbuh secara sehat, terutama di negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Berikut ini beberapa fakta yang menjadi indikasi ancaman bubble:
- Harga Aset yang terlalu tinggi, ditunjukkan oleh Indeks saham global, seperti S&P 500 dan NASDAQ, telah mencapai rekor tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, meskipun pertumbuhan ekonomi riil tidak sebanding. Rasio harga terhadap pendapatan (P/E ratio) yang tinggi menunjukkan bahwa saham mungkin dinilai terlalu mahal.
- Harga properti di banyak kota besar dunia (seperti New York, London, dan Hong Kong, Jakarta, Surabaya) telah melonjak, seringkali melebihi kemampuan daya beli masyarakat setempat.
- Ekonomi digital, seperti Cryptocurrency khususnya aset digital seperti Bitcoin dan Ethereum telah mengalami volatilitas tinggi dan kenaikan harga yang spekulatif, meskipun nilai fundamentalnya sulit diukur.
- Dari sisi moneter, kebijakan moneter longgar berupa suku bunga rendah oleh Bank sentral global, seperti Federal Reserve (AS) dan European Central Bank (ECB), telah mempertahankan suku bunga rendah selama lebih dari satu dekade. Dan hal ini mendorong peningkatan pinjaman dan investasi spekulatif, karena biaya pinjaman yang murah.
- Quantitative Easing (QE), di mana bank sentral membeli aset dalam jumlah besar, telah meningkatkan likuiditas di pasar keuangan tetapi juga berkontribusi pada kenaikan harga aset yang tidak wajar.
- Utang Pemerintah dan Swasta yang tinggi sudah mencapai jumlah utang global dengan rekor tertinggi, melebihi $300 triliun pada 2023. Tingginya utang ini dapat menjadi risiko jika suku bunga naik atau pertumbuhan ekonomi melambat.
- Leverage di Pasar Keuangan yang tidak rasional, menyebabkan banyak investor menggunakan leverage (utang) untuk memperbesar keuntungan, yang dapat memperburuk gelembung jika harga aset mulai turun.
- Spekulasi dan Euphoria pasar diwarnai oleh Retail Investor Boom. Munculnya platform trading seperti Robinhood dan meningkatnya partisipasi investor ritel (terutama generasi muda) dalam pasar saham dan cryptocurrency telah menciptakan dinamika spekulatif.
- Meme Stocks berupa saham seperti GameStop dan AMC mengalami kenaikan harga yang ekstrem pada awal 2021, didorong oleh spekulasi dan koordinasi melalui media sosial, bukan karena fundamental perusahaan.
Selain itu, ada juga tanda-tanda lain seperti:
- Munculnya pemodal dengan masif: Banyak pemodal yang tertarik untuk berinvestasi pada aset-aset yang sedang naik daun, sehingga meningkatkan permintaan dan harga aset tersebut.
- Dampak FOMO dan investasi tanpa ilmu: Banyak orang yang merasa FOMO (fear of missing out) dan berinvestasi pada aset-aset yang tidak mereka pahami, sehingga meningkatkan risiko kerugian.
Beberapa contoh historis yang relevan
- Dot-com Bubble (2000): Kenaikan harga saham teknologi yang spekulatif, diikuti oleh kehancuran pasar.
- Krisis Subprime Mortgage (2008): Gelembung di pasar perumahan AS yang menyebabkan krisis keuangan global.
- Japan’s Asset Price Bubble (1990): Kenaikan harga properti dan saham di Jepang yang diikuti oleh stagnasi ekonomi selama lebih dari satu dekade (“Lost Decade”).
Namun, perlu diingat bahwa bubble economy dapat terjadi karena berbagai faktor, termasuk kebijakan moneter, perkembangan teknologi, dan perubahan preferensi konsumen. Oleh karena itu, penting untuk selalu memantau perkembangan ekonomi dan melakukan analisis yang cermat sebelum membuat keputusan investasi.
Menghadapi ancaman bubble ekonomi karena investasi portfolio yang cepat dan masif, perlu pemahaman terhadap hal-hal sbb:
Pertama, harus ada pemberlakuan regulasi yang lebih ketat. Pemerintah dan regulator perlu memastikan bahwa pasar keuangan tidak terlalu spekulatif dan diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi riil.
Kedua, kebijakan moneter yang seimbang. Bank sentral perlu menyeimbangkan antara stimulasi ekonomi dan pencegahan gelembung aset.
Ketiga, mendorong investasi dalam ekonomir riil (direct investment) dan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi riil.
Keempat, meningkatkan edukasi dan kesadaran investor tentang risiko dan manfaat investasi portofolio dan investasi langsung.
Apakah gelembung Ini akan selalu pecah? Tidak semua tanda gelembung berakhir buruk. Tidak semua kenaikan harga aset berakhir dengan gelembung yang pecah. Terkadang, pasar dapat menyesuaikan diri secara bertahap. Faktor penentunya adalah kebijakan bank sentral (seperti kenaikan suku bunga), pertumbuhan ekonomi riil, dan stabilitas geopolitik juga akan menentukan apakah gelembung ini akan pecah atau tidak.