Oleh: Arderio Hukom
Diksi ‘penyembelihan’ kira-kira cukup pantas menjadi diksi pembuka untuk menyikapi preseden buruk di institusi pendidikan tinggi kita akhir-akhir ini, pemecatan Prof. Budi Santoso (Prof Bus) dari jabatannya sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga usai memberikan opini dan pendapatnya soal penolakan terhadap kebijakan pemerintah mendatangkan dokter asing adalah ironi yang cukup memprihatinkan, walaupun, persoalan ‘penyembelihan’ kebebasan berpendapat kerap terjadi, bahkan sejak zaman kolonialisme. Namun, sampai kapan kita menormalisasi ‘kekerapan’ tersebut?
Alih-alih menunjukkan kekuatan melalui abuse of power dengan harapan memunculkan ‘ketakutan’ dan ketertiban normatif di lingkungan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga melalui pemecatan terhadap Dekan yang memberikan opini kontra kebijakan pemerintah, kali ini malah menjadi boomerang mematikan bagi kelembagaan perguruan tinggi (baca: Universitas Airlangga), kita melihat bersama aksi yang dilakukan ratusan dosen dan mahasiswa FK Unair hari ini (4/7/2024) di halaman FK Unair menunjukkan gerakan perlawanan terhadap upaya pembungkaman kebebasan berpendapat akademik tidak pernah padam.
Terakhir, preseden buruk semacam ini bila terus dibiarkan dan dinormalisasi akan menjadi ‘duri’ terhadap kebebasan berpendapat akademik, lebih-lebih perguruan tinggi harus mampu menjadi mimbar sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan, tentu semangat ini sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi negara yang mengedepankan azas-azas musyawarah dan peletekan kepentingan orang banyak (maslahat) di atas kepentingan kelompok dan golongan.
Maka, Satuan Siswa Pelajar dan Mahasiswa (Sapma) Pemuda Pancasila sebagai salah satu elemen aktif gerakan mahasiswa menyerukan hal-hal berikut sebagai poin pernyataan sikap, antara lain:
- Pemecatan Budi Santoso (Prof Bus) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga jelas menciderai nilai-nilai kebebasan berpendapat, opini dan gagasan dalam ranah akademik, tentu hal ini memiliki dampak buruk terhadap pertumbuhan nilai-nilai demokrasi Pancasila dilingkungan perguruan tinggi;
- Pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga jelas menyalahi statuta Universitas Airlangga itu sendiri yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Airlangga pasal 53 yang menjelaskan dekan dan wakil dekan dapat diberhentikan apabila; a) berakhir masa jabatannya; b) meninggal dunia; c) mengundurkan diri; d) sakit yang menyebabkan tidak mampu bekerja secara permanen; e) sedang studi lanjut; dan / atau; f) dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan perbuatan yang diancam pidana penjara;
- Pemecatan Prof Bus dari jabatannya sebagai dekan FK Unair jelas tidak memiliki dasar yang jelas dan semata-mata adalah soal kepentingan akibat pendapat beliau yang kontra terhadap kebijakan pemerintah soal program mendatang dokter asing oleh pemerintah;
- PW Sapma PP Jawa Timur menilai, pemecatan dekan FK Unair merupakan triger buruk dan destruktif terhadap upaya membuka ruang opini, gagasan dan narasi akademik untuk membangun dan menhidupkan nalar sehat konstruktif diranah akademik;
- PW Sapma PP Jawa Timur ‘menyarankan’ kepada pimpinan Universitas Airlangga untuk mengembalikan marwah perguruan tinggi beserta ruang kebebasan berpikir, berpendapat dan beropini di Universitas Airlangga dengan tidak mengulangi kembali kebijakan-tindakan yang melampaui etika akademis dalam perguruan tinggi serta terkesan ‘gradakan’ (baca: terkesan terburu-buru tanpa ada rasionalitas didalamnya);
- PW Sapma PP Jawa Timur mengajak serta seluruh kader Sapma PP baik yang berada dilingkungan Universitas Airlangga, maupun perguruan tinggi lain untuk bersama-sama saling menjaga agar kebebasan berpendapat utamanya diranah akademik tetap hidup, serta turut aktif melawan indikasi-indikasi ‘penyembelihan’ dan pembelengguan kebebasan berpendapat yang ada.
Demikian pernyataan PW Sapma PP Jawa timur teriring doa dan harapan tidak ada lagi insiden pembelengguan kebebasan berpendapat akademik dilingkungan perguruan tinggi sehingga nalar akademis dan berpikir kritis sivitas akademik tetap hidup dan terawat.