SURABAYAONLINE.CO – Krisis energi karena kenaikan harga gas makin mengancam Eropa. Sejak Januari 2020, harga gas alam yang jadi primadona di benua itu, naik 250%.
Akibatnya, jutaan orang dikabarkan mungkin tidak akan mampu “menghangatkan” rumah selama musim dingin nanti. Jutaan warga diprediksi akan mengalami pemutusan jaringan karena tak mampu membayar tagihan yang membludak.
Hal ini setidaknya ditegaskan analis kebijakan publik di lembaga transisi energi Regulatory Assistance Project. “Lebih dari 12 juta rumah tangga Eropa menunggak tagihan listrik mereka,” kata Louise Sunderland, dikutip dari CNN International Selasa (5/10).
Berdasarkan data Koalisi Hak Energi, selama setahun setidaknya ada tujuh juta laporan pemutusan energi warga di benua itu. Pandemi memperburuk masalah karena membuat banyak orang semakin lama di rumah dan menghabiskan konsumsi energi mereka.
Pada saat yang sama, harga energi meningkat tajam karena pasokan gas yang berkurang akibat meningkatnya permintaan pemanas, pada musim dingin tahun 2020. Belum lagi, permintaan penyejuk udara di musim panas 2021.
Namun seiring pembukaan dunia dari pandemi gas mengalami kelangkaan dan kenaikan harga, bahkan 250% dari Januari lalu. Namun di sisi lain, sejumlah pembangkit listrik dengan energi terbarukan seperti angin, terkendala sejumlah hal akibat peralihan musim.Di Eropa gas banyak dipilih dibanding batu bara karena dianggap lebih ramah lingkungan. Baik rumah tangga maupun perusahaan menggunakan energi ini, di antaranya untuk listrik.
“Risiko jatuh ke dalam kemiskinan energi dalam populasi Eropa adalah dua kali lipat risiko kemiskinan umum,” kata seorang ahli di Universitas Manchester, Stefan Bouzarovski.
“Antara 20 hingga 30% populasi Eropa menghadapi kemiskinan umum sementara 60% menderita kemiskinan energi di beberapa negara.”
Sebagai informasi Bulgaria memiliki proporsi penduduk miskin energi tertinggi di Eropa yakni 31%. Diikuti Lithuania (28%), Siprus (21%), Portugal (19%).
Sementara itu para ahli dan juru kampanye iklim berpendapat Uni Eropa (UE) harus membuat undang-undang larangan pemutusan listrik rumah tangga secara jangka pendek. Mereka juga meminta otoritas mengurangi ketergantungan ke gas dan lebih banyak berinvestasi ke energi terbarukan lain untuk “menjinakkan” harga.
Sebelumnya, krisis energi yang menghantam Inggris membuat tarif listrik di negeri itu melompat hingga mencapai 475 pound atau sekitar Rp 9,3 juta. Ini bukan hanya mempengaruhi rumah tangga tapi juga industri energi hingga pasokan makanan terutama daging dan minuman bersoda.
Imbasnya pemerintah sempat menghidupkan kembali pembangkit listrik batu bara (PLTU) West Burton A untuk mengamankan listrik. Ini pertama kali dalam enam bulan, sebelum pensiun 2022.