SURABAYAONLINE.CO – Sains alam berkembang dalam kerangka Positivisme. Yang menjadi objeknya adalah apa yang terindera. Mulai dari alam semesta sampai partikel. Jika dapat diindera maka masih menjadi bagian pembahasan sains alam. Dengan ini metafisika menjadi di luar domain sains alam.
Dalam perkembanganya, sains alam mendapati bahwa seluruh alam tunduk pada suatu hukum tertentu yang baku. Tidak ada yang terbebas dari hukum alam. Setiap beings dan creatures tunduk pada hukum alam tertentu. Alam raya tunduk pada hukum gravitasi.
Bumi, tumbuhan, hewan dan manusia sebagai creatures atau ciptaan tunduk pada hukum-hukum yang berlaku dalam Biologi, Fisika atau Kimia. Hukum-hukum ini bersifat tetap dan universal.
Selanjutnya pola keharusan tunduk pada hukum tertentu dibawa saintis ke wilayah sosial. Menurut mereka, seperti alam pada umumnya, manusia tunduk pada suatu hukum tertentu yang baku dan universal.
Manusia di belahan bumi Barat berlaku dengan hukum atau aturan yang sama dengan manusia di belahan bumi Timur, Selatan atau Utara.
Ketundukan alam pada hukum alam ini dapat diterima karena bumi, hewan, tumbuhan tidak memiliki kehendak bebas. Memang ada hukum yang mengaturnya. Bahkan manusia pun pada level molekuler, biologis dan kimiawi tunduk pada hukum yang tetap.
Sirkulasi darah manusia selalu dipompa jantung. Organ yang menyaring darah adalah ginjal. Makanan manusia dicerna di perut. Aturan ini tidak dapat dilanggar manusia.
Tetapi, hukum yang menyangkut perilaku sadar manusia tidak bisa dibakukan. Manusia sebagai individu berkesadaran tidak bergerak pada hukum yang sama. Pada skala yang lebih besar, seperti komunitas sosial, potensi keberagaman tindakan dan aturan semakin besar.
Fenomena yang sama jika terjadi di tempat yang berbeda akan mendapatkan responyang berbeda dari manusia, baik yang mengalami atau yang mengamati.
Bencana alam yang terjadi di Indonesia akan mendapat respon yang berbeda dari orang Indonesia dan orang Inggris. Karena orang Indonesia yang mengalaminya.
Bahkan respon orang Indonesia pun bisa beragam. Orang kejawen akan memiliki pandangan yang berbeda dengan orang urban sekular dan Muslim religius. Karena itu, mencari hukum yang baku dan universal bagi fenomena sosial bukanlah tindakan yang tepat.
Dengan sudut pandang Islam pendapat ini dapat didukung. Karena dalam Islam posisi manusia dan makhluk lainnya berbeda. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kesempurnaan ini terwujud dalam kehendak bebas. Manusia dapat memilih bagaimana dia bertindak. Konsekuensi dari ini adalah manusia memikul tanggungjawab.
Tanggungjawab ini adalah konsekuensi dari status manusia sebagai makhluk paling sempurna. Dengan statusnya ini manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap tindakan.
Jika manusia tunduk pada hukum universal yang baku maka kehendak bebasnya tidak berlaku. Tanpa kehendak bebas tidak ada tanggungjawab.
Dan dengan sendirinya tidak akan ada pertanggungjawaban (Hisab). Fungsi manusia sebagai penanggungjawab (Khalifah) dunia juga tidak bisa terwujud.
Karena itu sudah sepatutnya sains sosial dibedakan dengan sains alam. Dengan itu fungsi manusia dengan segala atributnya dapat terwujud. Dan pada titik inilah aturan menjadi perlu atau syari’at, dalam bahasa Islam.
Manusia yang beragam dalam pemikiran, tindakan dan respon membutuhkan aturan untuk memastikan keragaman ini menjadi teratur. Jadi yang dibutuhkan sains sosial adalah aturan atau regulasi.
Alih-alih mencari hukum universal dan baku yang berjalan dan mengatur kehidupan manusia. Yang perlu dilakukan saintis adalah mengukur ketepatan dan membentuk peraturan yang dapat memastikan keteraturan hidup manusia.
* Khairul Atqiya adalah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah, Program Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo.
Nb: Hukum-hukum alam yang baku dan universal ini tidak mutlak. Dia tunduk pada kehendak Allah. Dan Islam menolak jika hanya Positivisme yang digunakan dalam sains alam.