Surabayaonline.co | Denpasar – Sastrawan legendaris Indonesia, Umbu Landu Paranggi, menghembuskan nafas terakhirnya pada Selasa (6/4/2021) jam 03.55 WITA, di Denpasar, Bali.
Kepergian Umbu selamanya, mejadi kabar duka bagi dunia sastra Indonesia karena kehilangan sosok mahaguru dari para sastrawan.
Umbu merupakan sosok mahaguru yang dikagumi oleh sastrawan populer Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, hingga Iman Budhi Santoso.
Tak hanya para sastrawan Indonesia yang memiliki kesan mendalam dengan Umbu Landu. Wartawan foto senior Harian Kompas, Edy Hasby pun memilik kesan terhadap seniman berkepribadian unik ini.
Berikut cerita Edy Hasby, ketika berkenalan dengan Umbu Landu di Biro Denpasar pada tahun 1996 silam.
Edy mengisahkan, kebiasaanku tidur di kantor biro di daerah pilihan tepat untuk bisa bangun lebih pagi untuk hunting foto, belusukkan ke desa-desa merekam sisi kehidupan masyarakat.
Utuk-utuk in the morning istilah yang sering dipakai pak Hariadi Saptono yang selalu menyemangati bila hunting bersama.
Kebiasan itu juga saya lakukan di Gatot Subroto 100 biro Kompas di Denpasar tahun 1996. Biro berupa bangunan Ruko ini menjadi titik kumpul para seniman dan sastrawan Bali.
Dari sini saya berkenalan dengan sastrawan dan seniman, seperti Umbu Landu Paranggi, Warih Wisatsana serta yang lainnya dan Fajar Arcana saat itu menjadi reporter wilayah Bali.
“Berkenalan dengan Umbu Landu Paranggi Presiden Malioboro sebuah kehormatan buat saya. Tampilannya saat itu sangat sederhana,” ujar Edy Hasby dalam akun facebooknya mengenang Umbu Lambu.
Selalu mengenakan topi dan sal yang menggantung di lehernya dengan kepribadian yang unik. Tidak mau ditemui dan selalu bersembunyi disuatu tempat.
Saya dibisiki, Putu Fajar Arcana saat itu untuk memotret profil Umbu. Saya harus membujuk Umbu untuk bisa tunduk dalam frame lensa saya. Diluar dugaan Umbu menolak untuk dipotret, dengan alasan lain waktu saja.
Topinya menjadi perisai untuk melindungi wajahnya dari mata lensa, pernah mencoba untuk mencuri wajah Umbu dengan lensa 200mm disaat lagi berdiskusi dengan para seniman.
Tapi lagi2 gagal, topinya itu seperti mengingatkan dirinya, dan secepat itu pula ujung topi menutupi raut wajahnya.
Ketika berpamitan untuk pulang ke Jakarta saya justru dikagetkan dengan ucapan Umbu. “Mas Edi nanti kalau sampai Jakarta atau sempat keluar negeri, tolong saya dibelikan topi yah,” ujarnya sambil bersalaman.
Waktu berlalu bertahun-tahun, Umbu sering menelpon sendiri untuk mengingatkan saya kalau dia pingin banget memiliki topi yang dia idamkan. Permintaan itu tak bisa saya tolak, meski topi seperti menjadi karma buat saya.
Oktober 2016 saya bersama pak Hariadi Saptono kembali ke Bali. Ditemeni Warih Wisatsana saya berkunjung ke Umbu disuatu tempat diperumaham elit di Denpasar.
Seperti biasa penampilannya, sebuah sal di leher dan topi di kepala yang membuat saya trauma. Namun pertemuan kali ini sangat berbeda, Umbu lebih terbuka. Ia tidak keberatan untuk di foto dan beberapa sajak dibacakannya untuk kami.
Ini pertemuan terakhir saya bertemu Umbu secara fisik, lantunan sajaknya lama tak terdengar itu membuat saya terdiam.
Selamat Jalan Presiden Malioboro, Selamat Jalan Guru …. teriakan sajak2mu dengan lantang di surga. RIP Umbu Landu Paranggi, Selasa 6 April 2021. (*/dd)