Oleh: Fauzi As
SURABAYAONLINE.CO – Hari yang seharusnya menjadi momentum penting bagi masa depan ekonomi Madura. Di tengah semangat para kiai dan pemuda yang berkumpul di Madura untuk membahas arah baru industri tembakau, saat langkah di mulai, sosok yang paling ditunggu justru tidak hadir – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Yang tampak hanyalah satu pejabat tinggi dari militer: Pangdam V/Brawijaya, Mayjen TNI Rudi Saladin, M.A., yang membuka Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tembakau dan Arah Baru Pertumbuhan Ekonomi Madura” di Gedung Sport Center Ahmad Yani, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ketiadaan Gubernur di forum strategis itu menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa pemimpin tertinggi di provinsi yang menjadi basis industri tembakau nasional justru absen dalam forum yang membahas masa depan petani dan industri yang menopang pendapatan daerahnya sendiri?
Padahal, ide KEK Tembakau ini bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan hasil doa dan pemikiran panjang para ulama Madura. Gagasan ini lahir dari Ponpes Al-Hamidy Banyuanyar, Pamekasan, lalu dilanjutkan pada 20 September 2025 di Pondok Pesantren Nurul Amanah, Bangkalan, di bawah bimbingan KH. Syafik dan para kiai yang tergabung dalam Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura (BASRA).
KEK ini adalah upaya menegakkan martabat ekonomi Madura – agar rakyatnya tak selamanya menjadi penonton dan korban dari kebijakan pusat dan provinsi yang manis di janji, pahit di realisasi.
Namun entah kenapa, Gubernur Khofifah tampaknya lebih sibuk menghadiri acara seremonial di tempat lain. Barangkali di panggung yang lebih terang lampunya dan lebih manis tepuk tangannya.
Padahal, Madura bukan panggung, tapi luka ekonomi yang terus terbuka.
Mari berbicara dengan angka. Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, sektor Industri Pengolahan Hasil Tembakau (IHT) berkontribusi 22,43 persen terhadap total PDRB sektor industri pengolahan Jawa Timur- menempati posisi kedua setelah industri makanan dan minuman.
Artinya, lebih dari seperlima kekuatan industri Jatim bertumpu pada tembakau dan rokok. Bahkan, kontribusi total sektor industri terhadap PDRB Jawa Timur pada Triwulan III 2025 mencapai Rp 2.536 triliun, dengan pertumbuhan ekonomi provinsi ini 5,9 persen, sedikit di atas rata-rata nasional 5,26 persen.
Lebih jauh lagi, IHT menyumbang lebih dari Rp 230 triliun penerimaan cukai pada 2024, sekaligus menjadi penyumbang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)& sebesar Rp 3,57 triliun bagi daerah.
Di dalamnya hidup 322 ribu petani tembakau dan cengkeh, ratusan ribu buruh pabrik, serta jutaan pelaku distribusi dan ritel.
Singkatnya: tanpa tembakau, denyut ekonomi Jawa Timur akan sesak napas.
Namun ironinya, sektor yang memberi napas justru tidak pernah diajak bicara dengan serius.
Kapolda yang Tak Mengerti Tembakau
Lebih ironis lagi, dalam forum besar yang membahas KEK ini, Kapolda Jawa Timur pun tak terlihat batang hidungnya. Padahal, bicara tentang tembakau bukan semata soal ekonomi dan pertanian, tetapi juga menyangkut hukum, keamanan, dan pengawasan distribusi – ranah yang seharusnya ia pahami.
Aneh, karena aparat kepolisianlah yang selama ini paling sering turun ke lapangan “menertibkan” rokok tanpa cukai, razia kios kecil, dan mengejar petani yang salah label. Tapi begitu bicara soal pembangunan besar yang bisa menata industri ini secara berkeadilan, mereka menghilang seolah tak mengerti bahwa rokok adalah urusan mereka juga.
Lebih getir lagi, banyak pihak tahu – tanpa perlu menyebut nama – bahwa di lapangan, justru oknum aparatlah yang sering menikmati keuntungan dari peredaran rokok ilegal, dari setoran kecil di pinggir gudang hingga pembiaran sistematis di pasar.
Kapolda semestinya hadir, bukan untuk menjaga podium, tetapi untuk membersihkan sistem yang selama ini kerap menyudutkan petani dan pelaku industri kecil.
Namun absennya Kapolda membuat publik bertanya: mungkin beliau mengira tembakau itu sekadar urusan cengkeh dan gudang, bukan tentang keadilan dan penghidupan jutaan rakyat kecil.
Sementara itu, Gubernur Khofifah tampak nyaman dalam politik seremonial: tersenyum di depan kamera, menghadiri peresmian gedung, dan menyapa rakyat dengan mikrofon. Tapi begitu bicara soal hal-hal substansial – seperti KEK Tembakau yang menyangkut nasib ekonomi pulau termiskin di Jawa Timur – ia seolah memilih diam.
Madura hari ini adalah metafora dua tetes madu bagi negara:
tetes pertama adalah jamu – sumber daya alam, hasil bumi, dan tenaga kerja;
tetes kedua adalah madu dalam arti lain — manis hanya ketika dibutuhkan, tapi disembunyikan ketika kenyang.
Itulah nasib Madura di bawah kebijakan Jawa Timur:
disayang saat kampanye, ditinggalkan saat rakyat bicara kebijakan.
Lebih menyakitkan lagi, Kepala Disperindag Jatim yang hadir mewakili Gubernur ternyata memaparkan data lama tahun 2023. Di forum yang membicarakan masa depan industri, pemerintah justru terjebak di masa lalu. Ya, data yang saya tulis di atas merupakan bahan paparan Kepala Disperindag Jatim.
Bagaimana bisa menata ekonomi Madura kalau data saja tak di-update?
Bagi Gubernur Khofifah, Madura tampaknya bukan anak kandung, melainkan anak pungut dalam rumah tangga ekonomi Jawa Timur – cukup diberi perhatian menjelang pemilu, lalu dilupakan ketika suara sudah digenggam.
Padahal, 57 persen produksi tembakau nasional berasal dari Jawa Timur, dan lebih dari sepertiganya ditanam di tanah Madura.
Ratusan ribu keluarga di Pamekasan, Sumenep, dan Sampang menggantungkan hidup dari daun yang sering dianggap dosa, tapi setiap batangnya memberi makan negara.
Ketika ulama Madura bicara KEK, mereka tak bicara proyek, melainkan martabat. Tapi ketika pemerintah absen, rakyat membaca pesan yang jelas: “Madura cukup untuk pajak, tapi belum pantas untuk prioritas.”
Kini, para kiai dan pemuda Madura hanya bisa berdoa agar KEK Tembakau tak berubah menjadi singkatan lain:
“Khofifah Entah Kemana.”
Dan bila ditambah sedikit kegetiran, barangkali juga: “Kapolda Enggan Kelihatan.”


