SURABAYAONLINE.CO, Kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) Afifuddin Muhajir berpesan, momentum Pemilu 2024 untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam menentukan calon pemimpin.
Menurutnya, dalam menentukan pemimpin itu tidak hanya dari Partai Politik (Parpol). Meskipun diluar itu juga bisa. Terpenting dapat menyamakan persepsi dan meninggalkan fanatisme Kepartaian.
“Kalau ada calon yang punya kapabilitas dan integritas, sebagaimana syarat mutlak sebagai pemimpin, dari non parpol, alangkah baiknya kita sepakati. Hilangkan fanatisme parpol,”ucapnya, Selasa (23/8).
Meski begitu, kata dia, partai politik pasti tidak akan rela jika ada calon berkualitas yang bukan dari kelompok mereka. Selama fanatik partai melekat, akan sulit untuk muncul calon alternatif.
Namun, diingatkannya, memilih pemimpin adalah hal yang sangat penting. Sebab, jika masyarakat ingin baik, pemimpinnya harus pula yang baik. Seperti orang yang paling mengedepankan kemaslahatan bersama.
Kiai Afif pun menyebut nama kader NU yang bukan dari kalangan partai politik. Salah satunya adalah Menko Polhukam Mahfud MD.”Saya kira Pak Mahfud jadi salah satu tokoh alternatif yang memenuhi syarat yang saya sebutkan sebagai pemimpin tadi. Semoga partai politik memunculkan nama alternatif ini,” katanya
Wakil Rais Aam PBNU ini menambahkan, bagi NU politik bukan tujuan, tetapi sarana untuk mencapainya. Jangan sampai politik merusak tujuan dengan cara yang merusak persatuan.”Sah saja orang NU mau maju. Justru orang NU yang tidak mendukung orang NU yang baik, diragukan ke-NU-annya,” tandasnya.
Pendapat Kiai Afif selaras dengan hasil survei Indopol Survey and Consulting. “Survei kami, Juli kemarin, sebanyak 17,48 persen warga NU memilih Mahfud MD ketika ditanya di antara tokoh NU yang bapak atau ibu paling inginkan untuk memimpin Indonesia ke depan?” kata Direktur eksekutif Indopol Survey, Ratno Sulistiyanto.
Selanjutnya di posisi kedua pilihan nahdliyin yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa 11,87 persen, Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar 9,02 persen, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf 4,55 persen, mantan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj 2,85 persen, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas 2,44 persen dan lainnya 3,01 persen. Sementara undecided voters atau responden yang belum menentukan pilihan masih tinggi, ada sekitar 48,78 persen.
Sementara itu, Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia mengapresiasi survei yang memunculkan tokoh alternatif. Sebab, banyak figur yang tidak darah biru parpol, tidak ramai dibicarakan. “Perlu muncul capres-cawapres alternatif yang layak maju bukan elite partai. Survei harus merekam suara rakyat yang tidak didengar partai politik,” katanya di seminar yang sama.
Yang menarik, kata Adi, Party Id di Indonesia rendah. Berdasarkan datanya, 82 persen publik merasa tidak menjadi bagian dari partai politik. Sebaliknya, Ormas Id ini kuat. Salah satunya, 47 persen publik, mengaku sebagai warga NU. “Tetapi, kita dihadapkan pada situasi rezim politik yang dikuasai partai. Suka nggak suka,” tambahnya.
Dikatakan, jika 2024 masih memakai politik identitas, ormas besar seperti NU, akan tetap jadi barang cantik. Artinya, meskipun PBNU menyatakan diri ingin menjauh dari politik praktis dan tak boleh memakai atribusi NU, tetapi tokoh-tokohnya akan tetap dikaitkan. “Tokoh-tokoh NU ini pasti tidak akan terlepas dari tarikan politik praktis. Sekali-kali jangan hanya jadi objek, tarung saja sekalian,” sarannya.
Buktinya ada survei menyatakan nahdliyin memilih Mahfud MD dan Khofifah Indar Parawansa yang bukan kader partai. Diakuinya, memang ada logika terbalik antara partai dan konstituen. “Dua nama teratas survei Indopol itu bukan kader partai. Pemilih PKB tidak otomatis milih Ketua Umumnya,” katanya.
Wahyu Al Fajri Presidium Nasional BEM PTNU Se-Nusantara sebagai representasi generasi muda NU berharap siapa pun sosok yang akan dicalonkan atau direkomendasikan oleh Nahdliyin memiliki visi kebangsaan jelas, berintegritas tinggi, jujur, berani, mudah diterima oleh semua kalangan dan mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. (Upek)