Surabaya online- Saat ini menanam porang sedang digemari oleh masyarakat, hingga seringkali bibit porang raib di pasaran
Kini melakukan inovasi dengan mengembangkan teknologi kultur jaringan untuk mengatasi kelangkaan benih porang tersebut.
Peneliti Ahli Utama BB Biogen, Badan Litbang Pertanian, Ika Roostika Tambunan mengatakan harga porang iris kering yang makin melonjak dari tahun ke tahun.
Hal ini membuat banyak petani tertarik untuk menanam porang, namun, budidaya tanaman tersebut terhambat kelangkaan dan mahalnya harga benih/bibit.
“Selama ini petani mendapatkan benih porang dari umbi, katak/bulbil atau biji pada bunga porang.’ katanya.
“Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan menjamin ketersediaan bibit porang adalah dengan menerapkan teknik kultur jaringan,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 12 Maret 2021.
Menurut dia, biasanya petani menggunakan benih alami dari umbi dan katak/bulbil yang harganya bisa mencapai Rp150 ribu – Rp400 ribu per kg, sementara kebutuhan benih porang sekitar 200 kg/hektare sehingga petani harus mengeluarkan biaya antara Rp30 juta – Rp80 juta per hektare,
Tanaman porang (Amorphophallus muelleri) adalah tanaman jenis umbi-umbian yang bernilai ekonomi tinggi, biasanya komoditas ini diekspor dalam bentuk chips atau tepung.
Dalam industri pangan, porang bisa diolah menjadi tepung, konyaku, shirataki, dan gelling agent.
Sedangkan industri obat-obatan, porang dimanfaatkan untuk menurunkan kolesterol dan gula darah, mencegah kanker, serta menurunkan obesitas dan mengatasi sembelit.
Sementara, dalam industri lainnya, porang menjadi bahan baku lem, pelapis anti air, cat, pita seluloid,
negative film, dan kosmetika mewah
Sejak November 2019 -Desember 2020 lalu, BB Biogen berkolaborasi dengan Direktorat Perbenihan melakukan Uji Produksi Benih Porang melalui Kultur Jaringan.
Menurutnya perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki keunggulan karena bisa dilakukan secara massal dalam waktu cepat dan tidak tergantung pada musim.
Selain itu bibit yang dihasilkan sesuai dengan induknya, seragam, bebas hama dan penyakit, serta mudah untuk didistribusikan (khususnya dalam bentuk planlet).
“Di samping itu karena adanya zat pengatur tumbuh pada saat ditumbuhkan secara in vitro maka pertumbuhan juga menjadi lebih cepat,” katanya saat menjadi pembicara dalam Webinar “Perlukah Kultur Jaringan untuk Porang Saat ini?” yang digelar Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM).
Sementara itu, Abey Ridwan, salah satu petani yang sudah puluhan tahun menekuni budidaya porang mengatakan, saat ini semakin banyaknya petani yang banting setir menanam porang.
Hal ini bisa menyebabkan melimpahnya ketersediaan katak/bulbil pada 5 tahun mendatang.
Persoalan lain yaitu, pembangunan pabrik pengolahan porang yang belum merata di setiap provinsi, karena saat ini tersentral di Jawa Timur.
“Saat ini banyak petani yang menanam porang, supply akan jauh lebih besar dari demand. Walaupun di dunia kebutuhannya besar, namun sebelum diekspor porang harus masuk pabrik di Indonesia yang akan memproses porang agar siap ekspor,” tuturnya.
Permasalahan lainnya adalah bagaimana meningkatkan kadar glukomanan, serta pengembangan produk turunan untuk memberi nilai tambah porang misalnya untuk makanan, minuman, industri, farmasi, maupun kosmetik.
Menanggapi hal itu Ika Roostika mengatakan tantangan ke depan adalah bagaimana memacu riset pengolahan porang dan produk turunannya.
Jika ketersediaan katak melimpah, bagaimana mengolahnya agar tidak terbuang percuma, misalnya menjadi bioetanol.
Selain itu, tambahnya, bagaimana teknologi kultur jaringan bisa diaplikasikan bukan hanya untuk perbanyakan benih, tetapi untuk pemuliaan sehingga bisa menghasilkan varietas porang dengan glukomanan tinggi.***