SURABAYAONLINE.CO-Jelas pemerintah Saudi membutuhkan bantuan untuk menangkap para pemimpin hidup-hidup dan mengakhiri pengepungan. Mereka kemudian meminta bantuan Presiden Prancis kala itu, Valéry Giscard d’Estaing.
“Duta besar kami mengatakan bahwa sangat jelas pasukan Saudi tidak terorganisir dengan baik dan tidak tahu bagaimana bereaksi,” ujar Giscard d’Estaing kepada BBC, yang untuk pertama kalinya mengkonfirmasi peran Prancis dalam krisis ini.
“Bagi saya itu berbahaya, karena kelemahan sistem, ketidaksiapannya, dan dampaknya pada pasar minyak global.”
Presiden Prancis diam-diam mengirim tiga penasihat dari unit kontra-teror yang baru dibentuk, GIGN (Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale-satuan elit milik Prancis) . Operasi harus tetap rahasia, untuk menghindari kritik terhadap intervensi Barat di tempat kelahiran Islam.
Tim Prancis berkantor pusat di sebuah hotel di kota terdekat Taif, tempat tim itu menyusun rencana untuk mengusir para pemberontak – ruang bawah tanah akan diisi dengan gas, untuk membuat udara tidak dapat dihirup.
“Lubang-lubang digali setiap 50 meter untuk mencapai ruang bawah tanah,” kata Kapten Paul barril, yang bertugas melaksanakan operasi.
“Gas disuntikkan melalui lubang-lubang ini. Gas disebar dengan bantuan ledakan granat ke setiap sudut tempat para pemberontak bersembunyi.”
Bagi saksi anonim, bersembunyi di ruang bawah tanah dengan pemberontak terakhir yang masih bertahan, dunia tampaknya akan segera berakhir.
“Perasaan itu seolah-olah kematian telah datang kepada kami, karena Anda tidak tahu apakah ini suara menggali atau senapan, itu adalah situasi yang menakutkan. ”
Rencana Prancis terbukti berhasil.
“Juhayman kehabisan amunisi dan makanan dalam dua hari terakhir,” kata Nasser al-Hozeimi, salah satu pengikutnya.
“Mereka berkumpul di sebuah ruangan kecil dan para prajurit melemparkan bom asap ke arah mereka melalui lubang yang mereka buat di langit-langit… Itu sebabnya mereka menyerah. Juhayman pergi dan mereka semua mengikuti.”
Maj Nufai menyaksikan pertemuan berikutnya antara para pangeran Saudi dan Juhayman yang tertegun tetapi tidak menyesali peruatannya: “Pangeran Saud al-Faisal bertanya kepadanya: ‘Mengapa Juhayman?’ Dia menjawab: ‘Ini hanya takdir.’ ‘Apakah kamu membutuhkan sesuatu?’ Dia hanya mengatakan: ‘Saya ingin air’.
Juhayman diarak di depan kamera dan sebulan kemudian, 63 pemberontak dieksekusi di delapan kota di Arab Saudi. Juhayman adalah yang pertama mati.
Salah satu orang yang beraksi adalah Osama Bin Laden. Dalam salah satu pamfletnya terhadap keluarga yang berkuasa di Saudi, dia mengatakan mereka telah “menodai Haram, ketika krisis ini bisa diselesaikan secara damai”.
Dia melanjutkan: “Saya masih ingat sampai hari ini jejak jejak mereka di lantai Haram.”
“Aksi Juhayman menghentikan semua modernisasi,” ujar Nasser al-Huzaimi.
“Izinkan saya memberi Anda sebuah contoh sederhana. Salah satu hal yang dia minta dari pemerintah Saudi adalah penghapusan presenter perempuan dari TV. Setelah insiden Masjidil Haram, tidak ada presenter perempuan muncul di TV lagi.”
Arab Saudi tetap berada di jalur ultra-konservatif ini selama hampir empat dekade. Baru-baru ini ada tanda mencair dan terjadi perubahan.
Dalam wawancara pada Maret 2018, Putra Mahkota Mohammed Bin Salman, mengatakan bahwa sebelum 1979, “Kami menjalani kehidupan normal seperti negara-negara Teluk lainnya, perempuan mengendarai mobil, ada bioskop di Arab Saudi.”
Dia merujuk terutama pada pengepungan Masjidil Haram.(BBC/habis)