SURABAYAONLINE.CO-Musibah gempa di Palu membuat kehidupan warga yang tertimpa bencana menghadapi situasi sulit. Tak hanya kehilangan tempat tinggal, banyak pula di antara warga yang kehilangan sanak-saudara. Di tengah kesulitan para pengungsi, para relawan datang memberi bantuan dan pendampingan. Bukan sekadar materi, relawan juga memberikan hatinya. Langkah kemanusiaan para relawan, membuat warga di tanah bencana, kembali menata kehidupannya. Inilah kisah mereka yang sungguh sangat bermakna.
PENGUNGSI SUDAH SEPERTI KELUARGA SENDIRI

Penampilannya khas layaknya anak pencinta alam. Perawakannya yang sedang ini mengenakan celana yang dilipat jadi tiga perempat dipadu dengan kaos serta syal serta tak lepas dengan ransel yang selalu menemani ke sana kemari. “Selain menyukai seni lukis, sejak kecil saya adalah seorang pencinta alam,” ujar Debyawan (30) mengawali percakapan.
Deby menceritakan, sore itu sesaat sebelum kejadian ia bersama kawan-kawannya sesama pencinta alam menyirami tanaman yang baru saja di tanam di camp pencinta alam di depan stadion Gawalise. Begitu gempa dahsyat terjadi, masyarakat dengan wajah ketakutan berhamburan naik ke lereng gunung Gawalise. “Ketika semua warga naik ke lereng gunung, saya malah turun untuk mencari kedua adik saya. Syukur keduanya selamat,” tuturnya.
Berbekal kemampuannya sebagai pencinta alam yang kenyang latihan fisik dan mental, Deby tak mau berpangku tangan. Apalagi, ia punya pengalaman menjadi relawan ketika terjadi gempa di Sigi tahun 2011. Di tengah suasana yang kacau balau, ia berusaha mengkoordinir para pengungsi di satu tempat pengungsian. Tanpa dikomando, ia mendata masing-masing keluarga lengkap bersama anggota keluarganya. “Saya sehari semalam tidak tidur karena mendata 1716 KK lebih,” paparnya.
Berdasarkan pengalaman di Sigi, Deby sangat paham, data-data tersebut memang sangat dibutuhkan. Begitu ada bantuan datang, maka data yang dimilikinya menjadi acuan. Misalnya saja berapa banyak barang atau makanan yang dibutuhkan para pengungsi. Data miliknya berguna untuk memastikan semua warga mendapat bantuan tanpa ada satu pun yang tercecer.
Bukan persoalan berat bagi Deby untuk mendata warga sebanyak itu. Namun, yang paling berat adalah menghadapi pengungsi yang emosinya bergejolak. Ia sangat memahami kondisi pengungsi yang berasal dari kawasan Petobo itu. “Kalau sekadar rumah dan harta bendanya saja yang hilang, mungkin masih belum seberapa. Namun, mereka yang juga kehilangan sanak saudara, suasana batinnya pasti berbeda. Saya harus tetap sabar menghadapi mereka. Jadi, pendekatannya harus menggunakan hati,” tegasnya.
Sehari-hari di sela-sela melakukan aktifitas, Deby pun selalu berusaha menjadi seorang “conselor”. Ia menampung curahan hati para pengungsi tentang banyak hal. Ia paham, dalam kondisi tertekan, seseorang butuh penyaluran untuk mengeluarkan emosinya. “Mereka senang sekali ketika curhatnya didengarkan dengan baik. Dari curhat yang mereka sampaikan, saya memahami kebutuhan mereka,” imbuhnya.
Deby juga berperan sebagai koordinator para relawan yang kemudian datang untuk memberikan bantuan. Langkah awal, ia mendirikan tenda sebagai posko yang berfungsi mengatur segala masalah para pengungsi. Di sanalah ia melakukan koordinasi dengan relawan lainnya untuk mengurusi kebutuhan pengungsi. Mulai dari mendirikan tenda pengungsi, mengatur makanan sehari-hari, pakaian, sampai kebutuhan lainnya. “Selama 24 jam saya tinggal bersama mereka,” kata Deby yang aktifitas melukiskan mandeg total sejak mengurusi pengungsi.
Debi menceritakan, sekitar dua bulan pasca bencana, dia merasa sudah cukup membantu para pengungsi yang keadaannya sudah mulai tertata. Ia lalu mencoba kembali ke Sigi untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain. “Tapi baru beberapa minggu di sana saya tidak kerasan. Saya akhirnya balik lagi ke pengungsian. Batin saya serasa ada yang memangil-mangil,” kata Deby.
Rupanya kehadiran Deby memang dibutuhkan para pengungsi, termasuk ketika mereka menjelang menempati huntara seperti sekarang ini. Ia terus mendampingi sekaligus memberi masukan kepada mereka. Salah satunya adalah bagaimana mereka tinggal di tempat baru. Ia berharap supaya dalam hidup bertetangga, mereka bisa menjaga keharmonisan satu dengan yang lain.
Bekal nasihat tersebut sangat perlu mengingat tinggal di huntara belum tentu sama dengan tinggal di tempat lama sebelum gempa terjadi. “Para pengungsi, kan, mungkin sekali tinggal bersama tetangga yang baru dikenalnya. Perlu ada penyesuaian dan menanamkan sikap toleran.”
Deby bahagia bisa membantu sesamanya. Hikmah lain dari langkahnya sebagai relawan, ia mengenal banyak orang yang kemudian dianggapnya sebagai saudara. Ia juga menjadi kenal dengan relawan dari daerah lain, termasuk para relawan dari JMK-OXFAM. “Saya kagum teman-teman relawan JMK-OXFAM sangat serius membantu para pengungsi sejak tinggal di tenda pengungsi hingga di huntara.”
Deby pun berharap, para pengungsi kembali tegar menghadapi kehidupan mereka yang sempat porak-poranda.
LELAH SIRNA MELIHAT IBU-IBU TERSENYUM BAHAGIA

Di pengungsian Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, namanya tak asing lagi. Warga pengungsian merasa begitu dekat karena selang beberapa saat gempa terjadi dia sudah berada di tengah-tengah pengungsi. Ia sudah melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi.
Mulai dari membangun 38 tempat MCK satu di antaranya MCK untuk kaum difabel, membagikan hygene kit, sampai memberi edukasi kepada pengungsi.
Tentu banyak hal lain yang ia lakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi seperti kebutuhan makan, pakaian, dan pemenuhan air bersih. Ia berjuang keras agar kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Tak heran, berkat pengabdiannya, Mohamad Reza Fahlevi, nama pemuda ini, sudah menjadi bagian dari para pengungsi.
“Ya, karena setiap hari berkumpul dengan pengungsi, mereka seperti keluarga sendiri,” kata relawan yang masih duduk sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Tadulako tersebut.
Persahabatannya dengan pengungsi membuat Reza mengenal betul karakter mereka. Ia kagum dengan perjuangan para pengungsi yang di bawah koordinasinya itu. Meski hidup di tengah suasana yang penuh keterbatasan, mereka berjuang saling bahu membahu menata kehidupan baru. Awalnya, mereka tinggal di tenda pengungsian. Selanjutnya, secara bergotong royong para pengungsi membuat tempat tinggal yang lebih nyaman.
“Mereka membuat rumah panggung dengan bahan seadanya. Dari kayu bekas, dedaunan kering, dan bahan lainnya jadilah hunian mirip gubug-gubug. Memang hunian sederhana, tapi lebih nyaman ketimbang tinggal di tenda,” kata Reza.
Reza menceritakan, masalah berat di awal tinggal di tempat pengungsian adalah pemenuhan kebutuhan air. Ceritanya, minggu pertama paska gempa, suasana di lokasi pengungsian masih kacau balau. Selain tinggal di tenda seadanya, salah satu persoalan besar adalah tidak adanya sumber air. Apalagi lokasi di Desa Pombewe berada di padang savana yang cukup jauh dengan desa lainnya.
Tak ada pilihan lain, mereka mencari air seadanya dari kubangan-kubangan atau saluran-saluran air yang letaknya jauh dari lokasi pengungsian. “Mau bagaimana lagi? Saat itu memang tidak ada sumber lain,” imbuh Reza seraya mengatakan, itulah salah satu pengalaman yang tak terlupakan.
Reza mengaku sempat stress memikirkan keadaan. Namun dia tak mau putus asa. Bersama pengungsi, ia mencari sumber air permanen yang bisa dialirkan ke lokasi pengungsian. Usahanya tidak sia-sia, sekitar 4,5 kilometer dari lokasi pengungsian tepatnya di sebuah lereng perbukitan, mengalir sebuah sungai yang airnya cukup deras. Temuan ini segera ditindaklanjuti JMK-OXFAM.
Setelah melakukan perhitungan tingkat kemiringan serta jarak antara mata air dengan lokasi pengungsi, JMK-OXFAM pun memutuskan untuk mengambil air sungai dan menyalurkannya ke Desa Pombewe. “Saya melihat perjuangan warga untuk mencari air sungguh gigih. Warga pria naik turun tebing dan ikut menyambung pipa dari sumber air ke tanki penampungan yang letaknya berada di bukit kecil di atas rumah pengungsi,” ujar Reza.
Ibu-ibu pun tidak mau tinggal diam. Selama proses pengerjaan yang berlangsung beberapa minggu itu, setiap hari ibu-ibu secara bergantian mengirim makanan dan kue untuk para pekerja yang ada di tengah perbukitan. “Saya senang melihat bapak-bapak dan ibu-ibu kompak bekerja. Rasa letih jadi hilang,” ujar Reza yang tidak jarang bermalam di rumah pengungsi.
Buah kerja keras Reza bersama warga tak sia-sia. Pipa paralon karet yang dialiri air sungai jernih itu tersambung dengan baik. Desa Pombewe yang semula kering kerontang teraliri air melimpah. Air dari pipa tidak langsung disalurkan ke rumah warga tetapi ditampung di dua buah tanki kapasitas 5500 liter. Selanjutnya baru disalurkan ke belasan tanki-tanki kecil lengkap dengan keran air yang letaknya ada di sekitar rumah pengungsi. “Sekarang warga dengan mudah mendapatkan air bersih,” kata Reza dengan wajah bahagia.
Ibu-ibu pengungsi pun bisa bermain air dengan senyum bahagia. Rasa lelah Reza berminggu-minggu bekerja pun mendadak sirna.

SUDAH DAPAT BAYARAN, DAPAT PULA SUPLAI AIR BERLEBIHAN
Raut bahagia tampak jelas terpancar dari wajah Mesar (43). Bapak tujuh anak yang tinggal di Dusun 2 Desa Walandanao, Donggala itu gembira lantaran desanya tak akan kekurangan air lagi. Air macet akibat saluran air yang hancur berantakan akibat gempa itu kini sudah ada pengganti. Kebahagiaan Mesar tak lepas dari jasa JMK-OXFAM yang membantu fasilitas air bersih.
“Bahkan pipa baru dari JMK-OXFAM selain lebih besar ukurannya juga jauh lebih kuat. Menurut teknisi yang pertama kali mengajari saya, pipa paralon karet ini dalam keadaan normal akan tahan sampai 40 tahun lamanya,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja di ladang dan juga sebagai nelayan.
Lelaki bertubuh tegap ini menceritakan, beberapa hari setelah gempa warga desa sangat resah. Warga di dusunnya memang tidak ada korban karena sebagian besar rumah terdiri dari kayu. Namun, masalah besar menghadang mereka. Saluran air yang bersumber dari mata air dari lereng bukit yang sehari-hari mengalir ke kampung itu mati.
Akibatnya, air memang masih tetap mengalir tetapi debitnya menjadi sangat kecil. “Dulu sebelum gempa saja, aliran air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga dusun berjumlah 80 KK. Usai gempa, tentu kebutuhan air makin sulit. Karena debit air kecil, warga setiap hari harus sabar bergantian untuk mendapat aliran air,” kisah Mesar.
Di tengah kegelisahan warga, kedatangan para relawan JMK-OXFAM membawa harapan. Selain membagikan perlengkapan hygiene kit, JMK-OXFAM juga menawarkan untuk membuat saluran baru. “Semula saya masih ragu, apakah benar lembaga ini tiba-tiba datang menawarkan proyek cuma-cuma kepada warga. Saya baru percaya setelah pihak JMK-OXFAM mendatangkan peralatan beserta teknisinya.”
Tidak sekadar membantu, JMK-OXFAM bahkan memberikan penghasilan kepada warga. Setiap warga yang membantu baik lelaki maupun perempuan, mendapat bayaran harian melalui program padat karya yang dibatasi selama 15 hari. Tentu saja warga senang membantu proses pemasangan pipa paralon dan pekerjaan lainnya. “Sudah mendapat air bersih, warga pun dapat penghasilan,” ujar Mesar yang dibayar khusus karena dianggap sebagai teknisi.
Saat ini, lanjut Mesar, puluhan warga lelaki dan perempuan itu berbagi tugas. Sebagian menggali tanah yang akan dibuat menanam pipa, sebagian lagi mengangkat pasir dan semen. Ada pula yang menyambung pipa paralon sepanjang 1,5 kilometer dengan peralatan khusus. Nanti kalau proyek ini sudah jadi, sudah pasti debit air yang mengalir ke dusun akan jauh lebih besar dibandingkan sebelum gempa.
“Makanya warga sepakat, kalau memang pada saat masa padat karya sudah habis tetapi pekerjaan proyek belum selesai, mereka akan tetap terus bekerja dengan semangat sekalipun tidak digaji. Sebenarnya, kami rela tidak dibayar. Bukankah, proyek ini untuk kepentingan kami sendiri,” ujar Mesar.
Sudah dapat bayaran, kelak warga pun akan menikmati hasilnya.
PENDEKATAN ALA NGOBROL WARUNG KOPI

Tak mudah menjadi relawan di masa bencana. Relawan harus memiliki banyak cara agar masyarakat yang didampingi bisa mengikuti apa yang diinginkan. Untuk membangun rasa saling percaya, tidak bisa dilakukan secara instan. Butuh waktu yang cukup panjang.
“Untuk menumbuhkan rasa saling percaya, saya dari pagi sampai dinihari bersama mereka di pengungsian,” kata Bayu Novianto dari JMK-OXFAM.
Bayu yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, menceritakan sebulan setelah gempa, JMK-OXFAM menerjunkannya ke kawasan pengungsian di Duyu. Begitu sampai lokasi, Bayu mulai membangun interaksi dengan pengungsi. Setelah hubungan terjalin akrab, Bayu melakukan edukasi kepada para pengungsi untuk berlaku hidup sehat. Ia melakukannya dengan cara yang tidak formal.
Setiap hari ia melakukannya lewat obrolan santai. “Kalau siang saya ngobrol sama ibu-ibu, sore sampai malam hari saya ngopi bareng sama bapak-bapak sampai larut malam. Nah, saat ngobrol itulah saya sampaikan misi untuk hidup sehat,” papar Bayu.
Selain itu, Bayu juga mengedukasi anak-anak pengungsi. Caranya berbeda lagi. Ia mengemasnya dengan suasana bermain. “Kepada anak-anak, saya membuat game-game ringan, misalnya permainan ular tangga.
Nah, di dalam bagian-bagian permainan tersebut ada pesan-pesan tentang menjaga kebersihan, misalnya cuci tangan pakai sabun. Dengan media bermain, anak-anak leih mudah menerima pesan,” papar Bayu.
Selain itu, Bayu juga melakukan pendekatan dengan key person atau tokoh-tokoh berpengaruh di sana. Cara ini memudahkannya bisa masuk ke lingkungan pengungsi. Ide-idenya pun bisa leih cepat diterima. Tentu saja, ia juga mesti menjalin hubungan akrab dengan pihak pemerintah.
Bayu memberi contoh masalah yang sempat dihadapi pengungsi. Kala itu, pemerintah akan memindahkan pengungsi ke tempat hunian sementara alias huntara. Sebagian di antara pengungsi masih saja ada yang keberatan. Alasannya, mereka akan tinggal dalam satu kompleks dengan para tetangga baru yang belum pernah dikenalnya.
Satu kompleks huntara memang ditempati pengungsi yang berasal dari kawasan berbeda. Padahal, fasilitas di huntara digunakan bersama-sama, seperti dapur umum dan kamar mandi umum. Bayu mengatakan, “Persoalan demikian biasanya membuat para calon penghuni enggan untuk tinggal di huntara,” cerita Bayu.
Ketika menghadapi persoalan seperti ini, Bayu tak tinggal diam. Ia dengan pendekatan personal ataupun diskusi, berusaha meyakinkan bahwa tinggal di huntara adalah pilihan terbaik dibanding harus tetap tinggal di tenda pengungsian. Ia juga menyampaikan, huntara entu tak sama dengan rumah pribadi yang memiliki dapur atau kamar mandi sendiri. “Saya bersyukur cara pendekatan saya berhasil.
Akhirnya 191 KK yang ada di pengungsian itu bersedia untuk pindah di huntara,” ujar Bayu.Meski warga sudah tinggal di huntara, pekerjaan Bayu belum selesai.
Ia masih harus mendampingi warga. Awal tinggal di huntara, para penghuni juga tidak serta merta lancar dan bisa berdampingan dengan baik. “Masih perlu pendekatan lagi, sebab ada saja hal-hal menjadi persoalan. Misalnya kedisplinan menjaga kebersihan kamar mandi, membuang sampah, dan masih banyak lagi,” papar Bayu.
a
Setelah sekian bulan mendampingi para pengungsi, Bayu sudah bisa tersenyum bahagia. Misinya mengedukasi para pengungsi sudah berhasil. “Sekarang giliran bersih-bersih blok di huntara sudah berjalan dengan baik. Mereka juga sudah membuang sampah di bak sampah. Yang membahagiakan, anak-anak pun sudah terbiasa dengan pola hidup sehat,” papar Bayu.(Gandhi Wasono M)