SURABAYAONLINE.CO —
Selama SEA Games di Filipina, diawali dengan berita palsu (fake news). Beritata tersebut tentang sisi buruk panitia. Namun, berita baiknya tidak diekspos. Itu certa dari salah satu teman yang tidakau disebut namanya lewat messenger. inggu lalu, saya dapat pesan lewat messenger. Dia bertanya kepada saya. Apa di Indonesia ada berita palsu (fake news)? Orang yang bertanya ini berkeluh kesah. Di negaranya, banyak berita palsu tentang kejelekan negeranya dalam acara Sea games tahun ini.
Saya katakan, ada juga di negeri saya, Indonesia. Hanya saja, tidak banyak di koran atau media berita. Tetapi, media sosial (medsos) dan situs-situs yang belum jelas identitasnya. Rupanya, di negeri tetangga kita, saat ini, sedang gelisah terhadap berita-berita paslu tentang kejelekan. Adapun kebaikan tidak pernah diberitakan.
Dari fenomena itu, kita teringat dengan istilah masyarakat digital. Publik sudah diingatkan jauh sebelumnya. Bahkan, saya sudah berkali-kali menulis tentang ini. Alvin Toffler, dalam bukuknya Future Shock (1970), meramalkan pada abad 21, akan terjadi berbagai macam kejutan (shock). Ini akibat arus informasi yang bebas. Ramalan itu sekarang nyata. Ramalan itu betul. Tetapi, pendidikan belum siap sejak 1970. Jika pranatanya disiapkan sejak itu, negeri ini akan siap berhadapan dengan berbagai kejutan dalam masyarakat digital.
Munculnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru, Nadien Makarim, sebuah fenomena tepat. Namun, masih dipertanyakan, meski lambat. Bagaimana mengurai keruwetan sistem pendidikan nasional? Birokrasi sudah tertanam rapi dan kuat. Padahal, era saat ini butuh kecepatan (lean and agile). Ibarat bangunan, beton-betonya harus diubah. Inilah yang mungkin berat. Padahal, dampak era digital terhadap masyarakat anggotanya sangat dashyat.
Masyarakat digital era revolusi industri 4.0, berdampak luas. Dampaknya bisa dalam sekala kecil: perkumpulan atau paguyupan. Bisa saja, dampaknya skala nasional. Bahkan, dampaknya bisa dalam sekala global: dunia. Dampak kecil banyak ditandai perilaku. Misalnya saja, grup WhatsApp (WA). Yang paling sering, anggota left (pergi) dari grup.
Dalam skala nasional, paling banyak contohnya dalam ranah politik. Kampanye pemilihan presiden adalah contoh yang paling jelas. Namun, regional DKI, Jakarta pilihan Gibernur sempat menjadi isu nasional. Berkepanjangan hingga kini. Sentimen dengan gubernur lama dan baru pun masih tampak. Rupanya dendam itu sulit dicarikan obatnya.
Dalam skala global, ini sangat gencar. Fenomena ini, terjadi di mana-mana. Di Amerika, Cina, Hongkong, Filipina, dan juga Indonesia. Banyak foto. Banyak video. Namun, yang paling gencar itu media sosial. Medsos ini utamanya tweeter. Jika kita baca tweeter, banyak viral ujaran yang tidak ada habis-habisnya. Caci maki. Kata-kata kasar. Ujaran kebencian berhamburan.
Di Amerika, masih kental dengan berita berbau rasis. Kaum putih dan kaum imigran. Berawal dari pilpres, sampai sekarang dikotomi kaum putih pendduduk aslii dan imigran senantiasa tampak. Berkembang juga, demo-demo di Hongkong. Berdalih demi demokrasi. Mereka berduyun-duyun demo. Akhirnya, mereka anti Tiongkok. Berita berita viral terkait dengan visi-misi mereka. Inilah, kekacaun dunia (future shock) yang diramalkan Alvin Toffler 1970-an itu.
Namun, semua ini kuncinya ada pada pendidikan. Pendidikan membuat rakyat melek. Dengan pendidikan, masyarakat digital bukan sebuah ancaman. Dengan pendidikan yang baik, masyarakat digital dan kompleksitasnya dapat ditekan. Pendidikan dan sistemnya akan lebih baik diubah. Intinya, beradaptasi dengan dunia digital.
Kurikulum dan ssitem pendidikan nasional akan baik jika disinergikan. Sinergi dalam bentuk pemanfaatan teknologi. Mendidik generasi masa depan dengan lebih baik. Pendidikan dan sistem diadaptasikan dengan dunia digital. Masyarakat digital dan perilakuknya bisa diarahkan dengan baik. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah akan baik disinergikan dengan teknologi informasi.
Anak didik diberi kemampuan menganalisis informasi. Informasi di era digital dikaji bersama dalam kurikulum. Desainnya diarahkan dalam bentuk keterampilan. Mereka harus dapat menguasai teknologi dan informasi. Wawasan tentang informasi sangat baik bagi calon generasi negeri.
Mereka harus bisa membedakan informasi yang valid dan tidak. Anak didik diberi kemampuan menganalisis berita seperti itu. Informasi apa pun harus diberikan ciri-cirinya. Dengan kemampuan seperti itu, tidak akan terjadi asumsi-asumsi jelek jika berita itu palsu. Pendidikan adalah kunci utama menghadapi risiko masyarakat digital.
Add A Comment


