SURABAYAONLINE.CO, Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan pentingnya kebijakan global yang adaptif, realistis, dan mendukung ekosistem ekonomi digital dalam Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC) ke-113 di Palais des Nations, Jenewa, Swiss. Apindo hadir sebagai bagian dari delegasi tripartit Indonesia bersama pemerintah dan serikat pekerja.
Tahun ini, Komite Penetapan Standar ILO memulai pembahasan perdana mengenai Pekerjaan Layak di Ekonomi Berbasis Platform. Seluruh pihak tripartit sepakat akan pentingnya perlindungan menyeluruh. Baik bagi pekerja maupun keberlanjutan ekosistem platform, termasuk UMKM. Karena itu, disepakati pendekatan berbasis prinsip agar instrumen yang dihasilkan fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional masing-masing negara.
Dalam sidang plenary ILC ke-113, Bob Azam, delegasi Kelompok Pengusaha Indonesia dan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo menyampaikan bahwa kondisi global saat ini masih menantang. Mulai dari ketidakpastian perdagangan hingga tekanan nilai tukar dan naiknya biaya produksi dalam negeri. Hal ini berdampak pada sektor padat karya yang terpaksa mengurangi tenaga kerja.
“Prinsip decent work di platform harus dirancang hati-hati agar tidak menghambat fleksibilitas dan inovasi. Dua elemen kunci penciptaan lapangan kerja di era digital. Dunia usaha berharap ILO menghasilkan instrumen yang melindungi tenaga kerja tanpa memaksakan model kerja konvensional,” jelas Bob dalam keterangannya, Sabtu (28/6).
Meski demikian, ekonomi Indonesia tetap tangguh dengan pertumbuhan 4,87 persen di kuartal pertama 2024. Namun tantangan ketenagakerjaan masih besar, yakni 7,47 juta pengangguran, 11,56 juta setengah menganggur, dan tingginya proporsi pekerja informal. Menurut BPS, tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91 persen.
Pemerintahan Presiden Prabowo menjadikan perluasan lapangan kerja sebagai prioritas, menargetkan pertumbuhan 8 persen dan penciptaan 19 juta pekerjaan. Termasuk melalui potensi pertumbuhan ekonomi digital yang diproyeksikan tumbuh dari USD 82 miliar (2023) menjadi USD 360 miliar (2030) dengan Indonesia menyumbang sepertiga dari total ekonomi digital ASEAN.
Dalam pembahasan tersebut, Komite memerlukan dua hari penuh untuk menentukan jenis instrumen yang akan digunakan. Mayoritas negara Eropa, Amerika Latin, dan Afrika mendukung konvensi yang mengikat karena menyesuaikan dengan sistem ketenagakerjaan di negaranya.
Sementara negara dengan populasi pekerja platform terbesar seperti Cina, AS, India, Swiss, dan Jepang mendorong rekomendasi yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional dimana mayoritas pekerja platform di dunia adalah berusaha sendiri serta pentingnya menjaga kestabilan agar tidak mematikan UMKM yang sangat bergantung pada ekonomi digital.
Juru Bicara Kelompok Pengusaha Internasional asal Amerika Serikat Ewa Staworzynska menekankan poin utama dalam draf instrumen untuk pembahasan yang akan datang. “Diskusi tahun pertama ini membuktikan pentingnya dialog sosial. ILO harus tetap menjadi lembaga rujukan, bukan ruang legislasi yang memaksakan agenda nasional atau regional,” tegas Ewa dalam sidang pleno.
Apindo mendukung penuh prinsip-prinsip tersebut, dan berkomitmen memperjuangkan instrument global yang adaptif, inklusif, serta mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi digital, tanpa membebani pelaku usaha.(*)