SURABAYAONLINE.CO – Pura merupakan salah satu tempat umat hindu untuk beribadah dan melakukan pemujaan terhadap para dewa. Bali sebagai salah satu Provinsi di Indonesia mayoritas penduduknya adalah agama hindu, memiliki banyak sekali Pura-pura atau biasa dijuluki Pulau seribu pura. Salah satu yang menarik perhatian yaitu Pura Tirta Empul, pura ini terletak di daerah Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Pura ini berbeda dengan pura lain pada umumnya dimana pura ini juga dijadikan sebagai tempat untuk pembersihan diri atau yang bisa disebut dengan melukat. Pura Tirta empul merupakan destinasi spiritual sekaligus wisata budaya Bali yang menarik bagi wisatawan dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebagai tempat wisata sekaligus spiritual ada etika khusus yang harus anda diketahui serta dipatuhi jika ingin berkunjung ke tempat ini.
Nama Pura Tirta Empul berakar dari dua kata yaitu Tirta merajuk pada artian air suci dan Empul yang berartikan mata air. Menurut Bapak Mangku Made Karna sejarah dari pura ini tidak bisa diceritakan secara singkat karena ceritanya sangat panjang dan memiliki makna mendalam. Sejarah Pura ini berkaitan erat dengan kisah Mayadanawa Tokoh Mitologi hindu. Raja congkak Mayadenawa dalam cerita menentang kehendak para dewa. Dia kemudian meminta Dewa Indra
untuk meringankan hukuman atas kesalahannya. Sekarang, mata air suci, yang berfungsi sebagai simbol pertempuran, adalah sumber air utama Pura Tirta Empul. Secara khusus, Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa membangun Pura Tirta Empul pada abad kesepuluh di dataran tinggi Buyan, dekat sungai Pakerisan. Sampai hari ini, tempat ini masih digunakan sebagai tempat pemujaan Hindu. Pura ini merupakan salah Pura Kahyangan jagat yang bersifat universal yang menjadi tempat pemujaan bagi umat hindu di kawasan Tampaksiring dan umat di seluruh Bali.
Pura Tirta empul sendiri memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat sekitar yaitu sebagai pura kahyangan jagat, tempat ini merupakan pusat penyucian diri. Sumber air yang terdapat di dalam pura ini sering digunakan dalam ritual melukat, yaitu prosesi pembersihan diri dari energi negatif atau yang tidak baik. Selain itu pura ini juga merupakan tempat wisata untuk pengunjung baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sejalan dengan perkembangan masa dan perkembangan pariwisata di Bali, Pura Tirta Empul tidak hanya dikunjungi oleh umat Hindu yang hendak sembahyang atau melukat, tetapi juga wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka datang dari berbagai wilayah mulai dari Indonesia bahkan hingga belahan bumi lainnya, untuk menikmati keindahan dari arsitektur pura, seni budaya dan sejarah yang terkandung di dalamnya, Namun, hal ini tentu menuntut pemahaman lebih dalam tentang etika antarpribadi saat berkunjung agar kesucian pura tetap terjaga.
Pura ini terdiri atas tiga wilayah yaitu Nista Mandala (area luar) Madya Mandala (area tengah) dan Utama mandala (area utama). Pada kawasan luar pura ada loket untuk membeli tiket masuk bagi wisatawan, setelah membeli tiket para wisatawan akan diarahkan untuk memakai sarung dan selendang yang di bisa didapatkan di loket pertama. Lalu masuk ke dalam pura terdapat pelinggih yang terletak pada bagian luar bagi yang ingin melakukan melukat dengan melakukan persembahyangan pertama di area tersebut.
Lalu setelah itu masuk ke sisi tengah pura sebelum itu di sisi pura ada loker yang bisa disewa untuk menaruh barang-barang atau baju ganti yang akan digunakan setelah melukat. Pada loket kedua wisatawan diberikan lagi sarung khusus yang digunakan untuk melukat ke dalam pancoran mata air, karena sarung yang berada di loket sebelumnya tidak dapat digunakan untuk melukat di dalam. Pada sisi tengah pura ini tidak perlu khawatir jika baru pernah melakukan persembahyangan atau berkunjung ke tempat ini karena banyak sekali terdapat tour guide yang berasal dari masyarakat sekitar akan menemani dan memberikan arahan kepada umat yang akan melakukan prosesi melukat maupun wisatawan yang ingin mencoba bagaimana prosesi melukat di pura ini.
Sebelum melakukan pengelukatan pada bagian depan pelinggih harus melakukan persembahyangan kedua, lalu masuk ke area pura Tirta Empul memiliki dua kolam besar dengan banyak pancoran air. Ketinggian air sebanding dengan pinggang orang dewasa. Kolam memiliki air yang sejuk dan jernih. Umat Hindu melakukan upacara penyucian diri di area kolam ini, membasahi kepala dan badan di bawah air pancuran. Air pancuran berjumlah 26. Sebanyak dua puluh dua tersusun rapi dari timur ke barat menghadap ke selatan, dan empat puluh enam berjajar dari utara ke selatan di sisi timur kolam. Salah satu air suci disebut Tirta Sudamala, Tirta Penglukatan, dan Tirta Panegtegan. Selain itu juga terdapat lingga yoni, tapasana dan mata air suci yang menjadi daya tarik tersendiri bagi umat hindu maupun wisatawan.
Pada kolam pancoran ini tidak semua pancoran yang bisa digunakan untuk membasah badan dan kepala untuk pembersihan ada beberapa yang hanya digunakan untuk ritual tertentu. Biasanya disini banyak terdapat guide dan masyarakat yang akan mengarahkan saat melakukan pengelukatan. Setelah selesai melukat biasanya pengunjung akan mengganti sarung ke pakaian yang akan digunakan untuk masuk ke bagian utama pura.
Sebelum memasuki bagian utama pura, akan ada petugas yang berjaga disini mengecek apakah pakaian yang dikenakan oleh umat maupun pengunjung sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Petugas juga mengecek bagi wanita dan laki-laki yang memiliki rambut panjang wajib mengikat rambut sebelum memasuki area utama. Pada bagian utama pura, terdapat area yang tidak boleh dimasuki oleh para pengunjung karena area ini khusus untuk orang yang melakukan persembahyangan. Jika ada wisatawan yang ingin mengikuti persembahyangan akan didampingi oleh masyarakat sekitar.
Bagi yang umat yang akan melakukan persembahyangan di utama mandala akan dipimpin oleh Jero mangku. Setelah persembahyangan selesai umat yang sembahyang akan diperciki air suci yang disebut dengan tirta lalu diberikan bija yang dipakai kening dan ulu hati. Setelah selesai melakukan persembahyangan saya dapat kesempatan untuk bertemu dan berbincang-bincang bersama dengan Bapak Mangku Made Karna yang ditemui di Utama Mandala Pura atau bagian terdalam pura. Pak Mangku Karna merupakan salah satu pengayah di Pura Tirta Empul Manukaya Tampaksiring.
Beliau menekankan bahwa setiap pengunjung yang ingin berkunjung ke Pura Tirta Empul harus mematuhi etika tertentu saat akan memasuki area pura. Salah satu aturan dasar saat ingin memasuki pura adalah mengenakan pakaian yang sopan. Pengunjung diwajibkan untuk mengenakan selendang dan sarung yang melambangkan penghormatan terhadap kesakralan pura. Bagi wisatawan yang ingin berkunjung pihak pura sudah mempersiapkan sarung dan selendang yang dapat dipinjam di pintu masuk.
Selain itu, juga terdapat larangan khususnya seperti tidak boleh memakai pakaian yang terbuka atau celana pendek. Aturan ini diberlakukan demi menjaga martabat dan kesucian tempat ibadah. Wanita yang sedang mengalami haid juga tidak diperkenankan masuk ke daerah pura. “Budaya dan Tradisi yang berbeda sering menjadi kendala dalam etika antarpribadi, tetapi kami selalu berusaha memberikan pemahaman kepada para pengunjung yang berkunjung kesini”. Ujar Pak Mangku Karna.
Di Pura juga terdapat etika komunikasi yang harus diperhatikan, berbicara di pura pun memiliki aturan tersendiri. Dalam tradisi umat hindu yang ada di Bali berbicara yang halus dan sopan sangat dianjurkan. Di Bali terkenal dengan “Sor singgih Basa” dalam bahasa bali, yaitu sebuah konsep tata krama dalam berbicara atau berkomunikasi yang mencerminkan rasa hormat kepada orang lain dan tempat suci. Berkomunikasi dengan pemuka agama seperti pemangku diharapkan bisa menggunakan bahasa yang sopan dan mencerminkan rasa hormat.
Sejak adanya pariwisata dan peningkatan pengunjung, membuat pihak pura menghadapi tantangan tersendiri terutama dalam menjaga kesucian area pura. Pak Mangku mengungkapkan bahwa ada beberapa pelanggaran etika yang terjadi, terutama dalam cara berpakaian dan perilaku saat berkunjung ke pura. “Efek dari pariwisata memang ada, tetapi kamu pihak pura tetap berupaya menegur dan memberikan edukasi kepada para pengunjung”. Tambahnya yang enggan mematuhi aturan yang berlaku di pura tidak diperkenankan untuk memasuki area pura.
Untuk mengatasi tantangan tersebut pihak pura bekerja sama dengan desa adat memberikan edukasi kepada pengunjung. Petugas desa adat yang berjaga di pintu masuk akan memberikan arahan dan memastikan setiap pengunjung paha betul aturan yang berlaku.
Ketika ada ritual keagaman berlangsung, pengunjung harus bisa mematuhi etika antar pribadi yaitu tidak mengganggu prosesi atau ritual keagamaan dengan tidak membuat keributan atau berbicara terlalu keras. Menghormati tradisi bukan semata-mata hanya soal mematuhi aturan, tetapi menunjukan apresiasi terhadap warisan budaya yang telah dijaga ratusan tahun. Bagi masyarakat Bali, menjaga kesucian pura adalah bagian dari upaya melestarikan adat dan tradisi dari leluhur. Sebagaimana dikatakan oleh Bapak Mangku Karna. Menjaga Kesucian pelinggih adalah tugas yang dianggap paling sulit, tetapi sangat penting.
Pak Mangku Karena mempunyai harapan yang besar terhadap masyarakat, khususnya bagi generasi penerus atau generasi muda. Beliau berharap mereka dapat melestarikan tradisi dan menghormati tempat ibadah seperti pura. Kesinambungan adat dan tradisi adalah fondasi dari kehidupan masyarakat Bali, yang tidak hanya berlaku bagi umat hindu tetapi juga memberikan pelajaran universal tentang etika dan toleransi.
Pura tirta Empul adalah simbol dari spiritual dan budaya yang harus dijaga oleh semua pihak dan kalangan masyarakat baik pengurus maupun pengunjung. Sebagai tempat suci, Pura tirta empul memiliki aturan yang harus dihormati baik cara berpakaian, sikap maupun caraberkomunikasi di area pura. Meskipun tantangan dalam menjaga kesucian pura terus meningkat seiring berkembangnya budaya dan pariwisata Bali, pemahaman lintas merupakan kunci utama.
Bagi masyarakat yang ingin berkunjung ke suatu tempat hendaknya menaati aturan yang ada apalagi yang kita kunjungi adalah tempat suci. Dengan mematuhi etika yang berlaku pengalaman dalam berkunjung akan menjadi lebih bermakna dan berkesan untuk menambah pengalaman pribadi, hal itu juga mencerminkan bagaimana rasa hormat serta gambaran sikap yang menjunjung tinggi etika antar pribadi.
Penulis : Ida Ayu Indira Cempaka Sari


