SURABAYAONLINE.CO, Surabaya – Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 yang mulai berlaku pada 16 Agustus 2023, mahasiswa S1 atau D4 tidak lagi diwajibkan menyerahkan skripsi.
Ahli Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Dr Muchlas Samami berpendapat, kebijakan tersebut bermanfaat karena memberikan alternatif bagi perguruan tinggi yang saat ini beroperasi di berbagai kampus.
“Itu pilihan-pilihan dan sudah berjalan sekarang. Jadi ndak usah risau. Menurut saya malah bagus bisa menjadi pilihan buat kampus,” kata Prof. Dr. Muchlas.
Menurut Prof Muchlas, pesan yang disampaikan Mendikbudristek Nadiem Makariem terkait tugas akhir sudah dilaksanakan di beberapa perguruan tinggi. Menariknya, institusi teknik menyebutnya sebagai “proyek akhir” (TA), bukan tesis. Contoh universitas yang mengadopsi pendekatan ini antara lain ITS, ITB, dan UGM, tergantung programnya masing-masing.
“Kalau teman-teman teknik tugas akhir bukan skripsi. Seperti ITS menyebutnya bukan skripsi, tapi tugas akhir. Sama saja. “Tergantung perguruan tinggi, mau pakai nama apa. Terserah perguruan tingginya. Bunyinya tidak mengharuskan menghapus skripsi. Dapat berbentuk skripsi, tugas akhir, proyek, nggak masalah. Itu hanya pilihan. Tergantung kampusnya cenderung ingin bentuk skripsi penelitian, tugas akhir seperti arsitek soal gedung, proyek,” urainya.
Untuk meningkatkan fleksibilitas, ia yakin opsi ini akan memungkinkan mahasiswa memilih program studi berdasarkan program studinya untuk lulus.
Menurut Guru Besar Manajemen Pendidikan Unesa ini, perguruan tinggi hendaknya menyelaraskan syarat kelulusan dengan ciri khas masing-masing program studi. Hal ini memungkinkan adanya saling memfasilitasi dan memberikan alternatif bagi mahasiswa yang tidak ingin menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi dengan syarat skripsi.
Sementara itu Direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) Aliridho Barakbah, S. Kom. Ph. D mengatakan dengan kebijakan baru ini, mahasiswa tidak lagi diwajibkan untuk menunjukkan orisinalitas dalam tugas akhir mereka. Sebaliknya, mereka dapat mengarahkan perhatian mereka untuk fokus mengatasi tantangan dunia nyata yang dihadapi dunia usaha dan industri.
Menurut Aliridho, kemitraan melibatkan penyampaian isu-isu nyata kepada universitas untuk ditangani oleh dosen dan mahasiswa. Selain mendapatkan pengakuan kredit, mahasiswa juga dapat memanfaatkan pengalaman proyeknya dalam tugas akhir.
Namun menurut pernyataan Aliridho sebelumnya, siswa menghadapi keterbatasan karena dituntut untuk menunjukkan orisinalitas daripada berkonsentrasi pada permasalahan dunia nyata.
“Dalam project besar yang kompleksitasnya sangat besar, biasanya mereka bisa memungkinkan untuk dilanjutkan sampai ke tugas akhir atau proyek akhir, yang biasanya kita kenal di dunia pendidikan vokasi. Di proyek akhir, selama ini kami dipaksa menunjukkan novelty (kebaruan),” kata Aliridho ketika menyampaikan pendapatnya di diskusi panel mengenai Standar Nasional dan Akreditasi Perguruan Tinggi.
Menurut Aliridho, mahasiswa kini mempunyai kesempatan untuk mengembangkan solusi praktis atas permasalahan dunia nyata di sektor bisnis dan industri. Aturan baru ini menghilangkan kebutuhan akan tugas akhir tesis dan malah mendorong terciptanya karya inovatif atau prototipe yang menjawab kebutuhan industri tertentu.
Aliridho menyatakan bahwa dengan menghilangkan persyaratan tugas akhir tesis, mahasiswa kini dapat mengembangkan solusi praktis atau prototipe yang mengatasi permasalahan dunia nyata berdasarkan tuntutan sektor bisnis dan industri.
“Jadi bagaimana caranya kami bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di industri. Nah, selama ini belum dapat jalan. Alhamdulillah dengan aturan baru ini, itu kami sangat terbantu, terutama bagi mahasiswa,” katanya.
Aliridho mengatakan, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 juga mempercepat terjalinnya hubungan positif antara setiap perguruan tinggi dengan kolaborasi di dunia kerja, dunia usaha, dan dunia akademik (DUDIKA).