oleh Ferry Is Mirza DM Wartawan Utama, Sekertaris Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur
SURABAYAONLINE.CO – Sepekan lalu dengan logat bahasa yang khas orang Madura Menkopolhukam Mahfud MD secara lugas tegas menyebut temuan PPATK bahwa di Dirjen Pajak dan Bea Cukai ada uang sebesar Rp 300 Triliun diduga yang tidak jelas jluntrungannya. Duaar….. Bak ledakan bom suaranya keras menggelegar. Karuan saja publik heboh.
Dan semua media pun melansir beritanya. Judul dan isi tulisan yang disajikan oleh beberapa media cetak mainstream sangat memikat pembaca.
Namun, beberapa hari kemudian gaya Mahfud berubah kayak _wong_ Jawa Jogja–Mahfud pernah lama tinggal di Jogja saat berkuliah sampai jadi dosen di UII– itu terlihat ketika acara jumpa pers bersama Menkeu Sri Mulyani yang mengklarifikasi soal uang Rp 300 Triliun itu, bahasa Mahfud lemah gemulai. Nah lho…
Dalam jumpa pers itu dengan argumen yang memukau Sri Mulyani menyatakan bahwa berdasar surat yang diterimanya –tidak disebutkan darimana– kata wanita karier mantan Direktur World Bank itu tak menyebut angka. “Saya heran, darimana Pak Mahfud dapat angka itu. Karenanya, saya merasa tidak perlu menjelaskan,” ucap Sri Mulyani dengan mimik wajah gusar. Seperti serial sinetron Telenovela…
Akibatnya apa ?
Pengusutan kasus cuci duit Rp 300 Triliun, angka nolnya ada lima belas 00.000.000.000.000 di Kemenkeu itu menampar mantan Menhan Mahfud MD
Halo sutradara, jangan begitu dong, mainnya : cerita transaksi mencurigakan Rp 300 Triliun di Kemenkeu digas pol kok berhenti sama sekali. Jegrek…
Judul “Koran Tempo”: “Kabut Transaksi Rp 300 Triliun”
Sebagaimana diketahui, awalnya barang panas itu dilempar Mahfud MD. Sumbernya dari laporan PPATK.
Masyarakat bergejolak. Heboh.
Semula diduga terkait korupsi oleh oknum di Dirjen Pajak dan Bea Cukai, dan pencucian uang. Ee..ee, ujungnya mentok sekadar indisipliner pegawai yang nilai transaksinya minim dan sudah dihukum disiplin oleh Irjen Kemenkeu —yang saat ini merangkap jabatan Komisaris BRI.
Entah apa lagi berikutnya. Tapi makin hari lampunya makin redup. Seiring makin terangnya sinar pemulihan citra Sri Mulyani Menkeu yang diagung-agungkan oleh fansnya bagai hadiah Tuhan dari surga buat Indonesia.
Pemirsa kecewa berat
Kalau semula kayak serial sinetron Telenovela, ini seperti nonton final Liga Indonesia yang berakhir juara bersama. Akibat lampu stadion tiba-tiba byarpet mati.
Menkopolhukam yang tadinya duel dengan Menkeu, berubah menjadi duet—kata media “Rakyat Merdeka”.
Para pakar dan konsultan merapikan narasi menjadi orkestrasi—seperti layaknya seminar manajemen.
PPATK yang awalnya terdengar galak mendadak melempem seperti bocah kelelahan sehabis main lato-lato. Meskipun terbersit secercah asa karena anggaran yang sebelumnya dikunci Menkeu sudah dibuka gemboknya alias cair dan gajian lancar lagi.
Mau kita tuding sang Menko nebar hoak ?
Rasanya percuma. Itu sama saja membuka panggung pamer intelektual dan proyek baru buat mereka yang mengaku ahli hukum dan saling mempengaruhi untuk menguliahi kita tentang perbedaan antara “hoak” dan “berita bohong” seturut UU ITE atau UU 1/1946. Mana yang tindak pidana, mana yang bukan.
Mau kita goreng ke mana lagi ? Misal, hilangnya potensi penerimaan pajak karena pegawai pajak ‘main’ dengan Wajib Pajak selama kurun waktu tertentu ?
Padahal sederhana saja, ‘perdamaian’ antara Menkeu dan PPATK itu sebetulnya menampar Menkopolhukam dan menempatkannya seolah pejabat penebar hoaks. Jika transaksi mencurigakan Rp 300 Triliun adalah hoaks dan menimbulkan kehebohan di masyarakat.
Jika sekelas Menkopolhukam saja begitu, layak pula orang beranggapan pemerintahan saat ini adalah hoak—yang berarti presidennya pun juga jago hoak. Jika pemerintahan saat ini adalah hoak, pertanyaan selanjutnya, buat apa kita rakyat bayar pajak ?
Ini pikiran dangkal, sekadar nakal. Sama nakalnya dengan sindiran orang saat ini bahwa ‘SEKOLAH BISNIS’ terbaik penghasil miliarder di Indonesia adalah sekolah kedinasannya Rafael, akademinya Fredy Sambo… atau sebaliknya.
Prinsipnya : belajar sebentar, banyak menjilat; pasti cuan dan jadi sultan !
Tapi poin kritiknya tetap sama : pemerintahan ini panggung sandiwara. Terlalu penuh pura- puranya. Kalau artis terlalu tebal make- upnya. Seperti badut !
Karenanya, kasus transaksi Rp 300 Triliun itu tidak boleh berhenti begitu saja. Harus –sekali lagi harus–, serius diusut sampai akar-akarnya. Jika pemerintahan saat ini tak mau dijuluki pemerintahan badut yang penuh hoak. Bagai sinetron Telenovela *(fim)*