SURABAYAONLINE.CO – Mengenang 40 hari wafatnya Pimpinan Sanggar Kencana, R Agus Sudjatmoko, BSc, Sabtu (10/12/2022) malam di nDalem Gandhok Kulon Kutisari Selatan Surabaya dilantunkan macapatan tembang Asmaralaya.
Sebelum dimulainya acara macapatan Tembang Asmaralaya, di Masjid Baitut Taqwa dibacakan Surat Yasiin dan Tahlil untuk almarhum Agus Sudjatmoko.
Pada zaman dulu, untuk mengenang kepergian sanak keluarganya ke alam baka orang Jawa menggelar macapatan. Tembang atau kidung yang dibawakan namanya Asmaralaya.
Syair dalam Asmaralaya mengisahkan ilmu pengetahuan kesempurnaan hidup manusia setelah sukma berpisah dengan raganya.
Berbeda dengan budaya macapatan pada umumnya, Asmaralaya dimulai dengan Dhandanggula dan dilanjutkan dengan Pucung, Megatruh, Pangkur dan Gambuh.
“Idealnya pengetahuan ilmu sempurnanya hidup manusia itu perlu didengar, diikuti dan dilestarikan generasi muda. Jadi, sayang sekali tembang Asmaralaya yang dibawakan malam ini hanya diikuti kaum lanjut usia,” ujar pemerhati budaya dan kesenian Jawa, Suharto Markus.
Mantan pilot maskapai penerbangan Merpati berusia 84 tahun ini menambahkan, sejak masa kanak-kanak di Kediri ia terbiasa mengikuti budaya macapatan Asmaralaya.
“Mungkin karena kemajuan zaman atau bagaimana, tradisi Asmaralaya ini sudah banyak ditinggalkan,” ujar Suharto Markus yang juga dikenal sebagai penembang macapat.
Ia jelaskan, syair Asmaralaya yang terdiri atas 107 pada atau ayat itu dihimpun abdi dalem Kasunanan Surakarta bernama Mas Ngabehi Mangoenwidaja antara tahun 1842 – 1912.
Tembang Asmaralaya ini dibukukan pertama kali oleh pemilik percetakan di Kediri, Tan Khoen Swie.
“Jasa Tan Khoen Swie ini mendokumentasikan tradisi seni dan budaya Jawa ini sangat besar sekali. Beliau layak dianugerahi gelar Pahlawan Kebudayaan Jawa,” kata Suharto Markus lagi.
Melihat tahun penyusunannya yang berakhir 1912, setidaknya budaya macapatan Asmaralaya ini sudah berusia 110 tahun. “Jadi ini tradisi Jawa yang boleh dibilang kuno. Jadi seharusnya ada upaya untuk melestarikannya,” tambah pria kelahiran Kediri 10 Juni 1938 itu dengan berapi-api.
“Itu sebabnya saya wajib menaruh hormat dan penghargaan kepada keluarga almarhum Bapak Agus Sudjatmoko karena berkenan menghidupkan kembali tradisi Asmaralaya,” tuturnya lagi.
Ucapan terima kasih juga ia sampaikan kepada Paguyuban Wungon Macapatan “Sekar Palupi” Surabaya para anggotanya melantunkan tembang Asmaralaya di depan para sahabat almarhum Agus Sudjatmoko.
Sebab, jika tidak ada lagi komunitas atau kelompok masyarakat yang peduli pada tradisi macapatan seperti “Sekar Palupi” maka salah satu tradisi dan budaya Jawa ini akan makin tenggelam oleh kemajuan zaman.
Suharto Markus menjelaskan, tembang Asmaralaya diawali dengan Dhandanggula yang isinya nasihat, dilanjutkan dengan Pucung yang artinya kematian, lalu Megatruh yang mengisahkan terpisahnya jasad dan ruh, diteruskan dengan Pangkur yang maksudnya arwah anggota keluarga yang meninggal harus pergi dan diakhiri dengan Gambuh yang syairnya mengisahkan kembalinya ruh kepada Sang Pencipta.
Sebelum ditembangkan Asmaralaya, acara diawali dengan Santi Puji (doa pembukaan) dan ditutup dengan Kidung Mantra Wedha yang syairnya berisi perlunya manusia untuk senantiasa minta perlindungan kepada Tuhan.
Peran Sunan Kalijaga
Tradisi macapatan ada berkat tangan dingin Sunan Kalijaga, salah satu dari 9 Wali pengembang Islam di Pulau Jawa.
Sunan Kalijaga yang lahir di Tuban tahun 1450 di Tuban meninggal dunia di Demak tahun 1513. Jadi Sunan Kalijaga yang terlahir dengan nama Raden Said itu dikaruniai umur seabad lebih.
Semasa muda, Raden Said dikenal sebagai perampok dengan nama julukan Lokajaya.
Ia taubat setelah bertemu dengan Sunan Bonang. Setelah taubat itu Sunan Kalijaga punya karomah bisa membaca isi hati orang lain.
Dengan kemampuannya itu pula Sunan Bonang menugasi Sunan Kalijaga membersihkan hati perampok asal Madura yang berjuluk Cakrajaya. Pada akhirnya saingan berat Lokajaya itu bertaubat dan masuk Islam.
Sunan Kalijaga kemudian jadi tokoh di kalangan Walisongo. Karena Sunan Kalijaga dikenal sangat lekat dengan kalangan Islam Jawa. Itu karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa.
“Jauh sebelum masuknya agama Islam ke Nusantara orang Jawa menganut agama yang disebut Kapitayan. Itu sebabnya Walisongo lewat pengaruh Kerajaan Demak tidak mudah menyebabkan Islam. Namun berkat kepiawaian Sunan Kalijaga orang Jawa mau menerima ajaran Islam,” jelas Suharto Markus.
Caranya adalah dengan memasukkan dengan cara menambahkan ajaran Islam ke dalam syair macapatan.
*Istilah macapatan sendiri berasal dari Sunan Kalijaga. Yang maksudnya maca papat- papat. Karena dengan teknik macapatan itu syair kidung yang dibawakan sebelumnya terdengar lebih enak. Orang Jawa yang penganut Kapitayan tidak sadar ada muatan ajaran Islam yang sengaja diselipkan di dalam kidungan Jawa,’ urai Suharto Markus.
Tak hanya lewat kidungan macapatan, karena Sunan Kalijaga juga berperan dalam lahirnya Seni Wayang Kulit yang juga mengandung nilai filosofi yang amat tinggi.
“Lewat gunungan wayang kulit itulah Sunan Kalijaga memperkenalkan huruf Hijaiyah pertama, yaitu Alif,” demikian Suharto Markus. ( Yami Wahyono)