SURABAYAONLINE.CO – Kapan terakhir kamu marah? Apa hal yang membuat kamu marah? Apakah kamu meluapkan rasa marah tersebut?
Tak bisa dipungkiri, dalam hidup tentu selalu ada masalah yang membuat kita merasa kecewa dan marah. Lalu, apakah marah itu buruk?
Marah adalah perasaan yang wajar. Selama kita masih bisa mengontrolnya, marah sebenarnya memiliki efek positif yang aneh pada kehidupan kita yaitu, membuat kita merasa lebih bahagia, karena ada perasaan lega saat kita meluapkannya.
Di balik emosi yang muncul saat marah atau meluapkannya kepada orang lain, diam-diam ada rasa bahagia yang dirasakan dalam diri. Bagaimana bisa marah bikin bahagia? Bukankah keduanya adalah dua emosi yang saling bertolak belakang?
Sebelum memahami mengapa marah bisa membuat bahagia, ada baiknya memahami terlebih dulu soal kemarahan.
Rasa marah merupakan salah satu emosi dasar yang melekat pada diri manusia bersamaan dengan rasa bahagia, jijik, cemas dan sedih.
Ekspresi kemarahan dinilai negatif karena dapat memicu tindakan atau hal-hal agresif yang muncul dalam bentuk penyerangan fisik, seperti perkelahian atau melukai orang lain secara langsung. Meskipun pada situasi tertentu, rasa marah terkadang menjadi sesuatu yang menguntungkan.
Sumber kemarahan dapat berasal dari mana pun, mulai dari orang terdekat, orang asing, ataupun peristiwa eksternal yang cenderung merugikan kamu.
Dalam beberapa kondisi, melihat atau mengetahui kejadian yang mana tidak berhubungan sama sekali dengan Anda juga dapat memicu munculnya perasaan tersebut.
Meskipun saat kamu marah permasalahan tak selesai, meluapkannya bisa membawa perasaan lega yang sepadan. Secara tidak sadar marah bisa membuat kamu bahagia dan mendatangkan rasa nyaman di dalam diri.
Leon F. Seltzer selaku psikolog klinis yang memiliki spesialisasi dalam resolusi pengendalian trauma dan rasa marah, menjelaskan ketika seseorang mengekspresikan kemarahannya ia akan menempatkan diri sebagai korban dan merasa berhak untuk menumpahkan perasaannya.
Korban sendiri didefinisikan sebagai pihak yang paling tidak bersalah, sementara target dari kemarahan merupakan pelaku yang paling bersalah. Maka ketika kamu memposisikan diri sebagai korban, secara moral kamu akan merasa lebih hebat dari target kemarahanmu.
Leon melanjutkan, bahwa rasa bahagia yang muncul saat marah dapat terjadi pada siapa pun. Dalam artian, ini bukanlah suatu kelainan atau gangguan psikologis tertentu.
Akan tetapi, kemarahan yang diliputi kebahagiaan bisa berbalik merugikan. Misalnya saja, karena merasa superior dan merasa benar, kamu bersikap bisa melakukan intimidasi secara berlebihan terhadap orang yang jadi target kemarahanmu.
Oleh karena itu, kamu harus tetap berusaha untuk mengendalikan amarah yang sedang dirasakan. (Vega)