SURABAYAONLINE.CO – Pada umumnya, catatan sejarag yang selalu diingat dari generasi pemuda sekarang tentang peristiwa 10 November 1945 adalah soal kepahlawanan dan keberanian arek-arek Surabaya, serta kepahlawanan Bung Tomo dalam membakar semangatn juang arek-arek mlawan Sekutu. Padahal, dibalik itu trdapat perjuangan yang cukup panjang ditengah denguman peluru dan kepanikan penduduk kota, serta perjuangan untuk tetap bertahan di kamp-kamp pengungsian ditengah tekanan sosial, ekonomi dan psikologis.
Rekam Sejarah mencatat, peperangan dan konflik yang terjadi pada masa perebutan kekuasaan Indonesia telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Baik itu pada masa kolonial, masa pendudukan Jepang, maupun masa revolusi fisik pasca kemerdekaan Indonesia.
Peperangan dan Konflik menyisakan banyak persoalan sosial yang sangat kelam bagi bangsa Indonesia, hal ini bisa kita lihat dari kondisi sosial masyarakat yang ada, dimana mulai banyak korban jiwa akibat pertempuran, kesengsaraan dalam daerah, serta banyaknya penduduk yang harus terusir dan mengungsi, telah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia pada saat itu. Begitu halnya yang terjadi di Surabaya sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia
Gambaran akan kemerdekaan yang sesungguhnya semakin jauh dari harapan ketika di tanggal 25 Oktober 1945 pasukan sekutu di bawah pimpinan Brigadir Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pendaratan pasukan sekutu yang merupakan bagian dari pasukan AFNEI tersebut pada awalnya mendapat penolakan dari pimpinan Republik di Surabaya. Akan tetapi, karena maksud Inggris hanyalah untuk melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan intermiran Sekutu, maka antara Pemerintah RI dan Sekutu dapat tercapai sebuah kesepakatan. Dalam kesepakatan tersebut bahkan pihak Sekutu berjanji tidak ada akan ada angkatan perang Belanda, akan memelihara keamanan dan ketrentaman, serta hanya melucuti senjata Jepang.
Namun pada kenyataannnya, pihak Sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris-India mengingkari janji. Sekutu justru berlanjut melakukan aksi teror dan provokasi dengan menduduki tempat- tempat vital yang ada. Hal ini juga diperparah dengan dijatuhkannya selebaran agar orang-orang Indonesia di Surabaya menyerahkan semua senjata yang “tidak syah” kepada pihak Sekutu. Sontak, hal ini menjadikan kondisi di Surabaya mencekam dan menimbulkan perlawanan diberbagai wilayah di Surabaya.
Beberapa keributan dan kontak senjata terjadi, salah satunya adalah keributan di sekitar Jembatan Merah, didepan gedung Internatio yang diduduki pasukan Mallaby. Dalam keributan itulah Mallaby tewas. Hal ini membuat Inggris marah, kesalahan pun langsung dijatuhkan pada pihak Inonesia.
Gambaran Keadaan Kota Surabaya
Pihak Sekutu akhirnya melancarkan serangan umum terhadap kota Surabaya dengan menggunakan segenap kekuatan militernya, baik angkatan laut, udara, maupun darat. Kota Surabaya diserang dari berbagai arah, dan segala kegiatan kota harus terhenti. Sebagian besar penduduk mengungsi menuju selatan kota. Mereka terpaksa lari meninggalkan harta bendanya untuk menyelamatkan diri dan menghindari peperangan tersebut.
Salah satu saksi sejarah, K’tut Tantri menceritakan gambaran kota Surabaya dalam novelnya yang berjudul Revolusi di Nusa Damai. Dimana, Inggris membom kota Surabaya selama tiga hari tiga malam, dengan banyak sekali korban berjatuhan. Beratus-ratus orang tewas. Darah mengalir di jalan-jalan. Wanita dan anak-anak bergelimpangan mati dalam parit dan penduduk banyak yang mengungsi karena ketakutan. Pemerintah kota dan Provinsi yang berkedudukan di kota Surabaya juga harus mengungsi untuk menyelamatkan diri ke luar kota.
Aku mengadakan siaran dua kali semalam dalam bahasa Inggris. Tujuan tugasku untuk menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia pada bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris di seluruh dunia, dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia,” tutur Tantri dalam bukunya Revolusi di Nusa Damai (2008).
Sebagai akibat dari serangan yang tidak henti-hentinya, banyak penduduk yang mengungsi dan korban yang harus dirawat di rumah sakit. Bantuan obat-obatan juga tidak bisa sampai ke Surabaya. Pihak rumah sakit mengalami kekurangan tenaga dokter dan perawat untuk menolong korban yang luka-luka.
Korban dievakuasi ke luar kota oleh pegawai Rumah sakit, serta pegawai kereta api juga bekerja keras untuk melaksanakan evakuasi ini. Evakuasi korban yang pertama kali dengan tujuan Malang dilakukan mulai pukul 19.00 sampai dengan pukul 02.00, dilakukan secara berangsur-angsur setiap malam, menuju tujuan yang berbeda-beda. Evakuasi ini memakan waktu satu minggu, dan berhasil mengangkut kurang lebih 1.000 korban.
Gambaran keadaan kota Surabaya tersebut seakan menjadi kenyataan pahit pasca kemerdekaan Indonesia yang baru saja berkumandng pada tanggal 17 agustus 1945.