SURABAYAONLINE.CO – Sebuah kudeta sedang berlangsung di Sudan, di mana militer telah membubarkan pemerintahan sipil, menangkap para pemimpin politik dan menyatakan keadaan darurat.
Pemimpin kudeta Jenderal Abdel Fattah Burhan menyalahkan pertikaian politik. Sehingga membubarkan transisi demokrasi di negara itu.
Protes terhadap kudeta telah menyebar ke beberapa kota termasuk Khartoum. Tiga orang dikatakan tewas setelah ditembak oleh angkatan bersenjata.
Para pemimpin militer dan sipil telah berselisih sejak penguasa lama Omar al-Bashir digulingkan dua tahun lalu.
Mengutip dari BBC Pada Senin (25/10/21) terjadi demonstrasi besar-besaran di jalan-jalan ibukota untuk menuntut kembalinya pemerintahan sipil.
Sementara itu, para pemimpin partai dan pejabat pemerintah lainnya telah ditahan sementara. Tidak hanya itu, akses internet juga diputus dan Bandara internasional Sudan telah ditutup.
Perdana Menteri Abdallah Hamdok dan istrinya termasuk di antara mereka yang dilaporkan telah ditahan dan menjadi tahanan rumah bersama dengan anggota kabinetnya dan para pemimpin sipil lainnya. Keberadaan mereka tidak diketahui.
Mereka adalah bagian dari pemerintahan transisi yang dirancang untuk mengarahkan Sudan menuju demokrasi setelah pemerintahan mantan presiden, Omar al-Bashir.
Ia juga mengatakan bahwa Hamdok ditekan untuk mendukung kudeta tetapi menolak untuk melakukannya, dan sebaliknya ia mendesak orang-orang untuk melanjutkan protes damai untuk “membela revolusi”.
Jenderal Burhan telah memimpin pengaturan pembagian kekuasaan antara pemimpin militer dan sipil, yang dikenal sebagai Dewan Berdaulat.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, dia mengatakan pertikaian antara politisi, ambisi dan hasutan untuk melakukan kekerasan telah memaksanya untuk bertindak untuk melindungi keselamatan bangsa dan untuk “memperbaiki arah revolusi”.
Dia mengatakan Sudan masih berkomitmen untuk “kesepakatan internasional” dan transisi ke pemerintahan sipil, dengan pemilihan yang direncanakan pada Juli 2023.
Di sisi lain, Kementerian Penerangan Sudan pada Senin (25/10/21), mengatakan bahwa Perdana Menteri Abdallah Hamdok yang sedang berada dalam tahanan rumah dipaksa untuk merilis pesan yang mendukung kudeta militer.
Sejak berita itu muncul, Amerika Serikat menyatakan kekhawatiran akan perkembangan terakhir di negara itu, yang dalam lebih dari dua tahun ini sedang menuju demokrasi setelah mantan otokrat Omar al-Bashir digulingkan dari kekuasaan.
Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Afrika Jeffrey Feltman mengatakan Washington “sangat khawatir” atas laporan tentang kudeta militer itu. Kepala urusan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mencuit bahwa dia mengikuti peristiwa di negara di Afrika timur laut itu dengan “keprihatinan penuh”. (Vega)