Oleh : Catur Prasetya
SURABAYAONLINE.CO, Surabaya – Political will dan political commitment dari pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini dituntut untuk bisa mengatasi penyebaran Covid-19 dan pasca pandemic.
Keragu-raguan Presiden Jokowi menerapkan lockdown lebih berbasis karena keringnya likuiditas Negara untuk memenuhi prasyarat lockdown. Harus diakui Indonesia lemah akan ketahan kesehatan seiring rendahnya penguasaan teknologi kesehatan, minimnya tenaga medis, lemahnya public health policy serta tidak transparasi dalam komunikasi.
Ditambah lagi sampai saat ini Indonesia belum mempunyai multi-nasional corporations.
So, bagaimana strategi Indonesia dalam menyingkapi segala persoalan itu dengan semua kekuatan yang ada saat ini? Tetap diam, berubah atau semakin ambyar (hancur) jika mengambil istilah Sang Maestro The God Father of Broken Heart, Didi Kempot. Sudah saatnya Indonesia bersikap dan ambil momentum, berkiblat ke Amerika ataupun Cina sama-sama tidak akan menguntungkan Indonesia.
Bandulan geo-politik dan geo-ekonomi pro Cina, membuat Joko Widodo tidak akan bisa lagi mengandalkan AS dalam krisis dampak Corona dengan digolongkan “Negara Maju”. Indonesia tidak akan diandalkan Cina lagi untuk penempatan investasi FDI (Foreign Direct Invesment), karena “produk Indonesia” tidak lagi kompetitif sehingga Cina akan realokasi ke negara berkembang lainnya di Asia.
Analisa kebijakan Jokowi
Agak mundur kebelakang. Jika kita analisa 3 kebijakan/regulasi Presiden Joko Widodo dalam darurat kesehatan, Perppu No.1 Tahun 2020 yang akhirnya jadi UU Covid No.1 Tahun 2020, Keputusan Presiden No.11 Tahun 2020 (Berkaitan dengan PSBB – Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Maka bisa diambil kesimpulan.
1. Pemerintah tidak memprioritaskan soal pemberantasan virus Corona dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020, karena 53% alokasi anggaran untuk pemulihan ekonomi. Terkesan hanya memanfaatkan situasi dominan pendanaannya untuk pengusaha, bukan pada tindakan kesehatannya maupun untuk rakyatnya.
2. Dalam Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020, terkesan tidak komprehensif dan tidak serius karena hanya menjalankan yang sudah berjalan di masing-masing daerah.
3. Negara terkesan abai tentang hukum tata negara karena tidak menggunakan Undang-Undang yang sudah ada. Di dalam klausul pada Perppu sudah memasukkan insentif pajak untuk pengusaha yang persis dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibuslaw yang belum disahkan. Negara dikelola untuk memprioritaskan agenda oligarki yang belum terlaksana. Momentum pandemi Virus Corona digunakan untuk menjalankan misi yang tidak berbasis kepentingan nasional.
4. Pemerintahan Joko Widodo tidak memprioritaskan rakyat dalam menentukan kebijakan negara, terkesan pro-investor. Seyogyanya menempatkan anggaran kesehatan (khusus penanganan Corona) lebih diutamakan, sehingga selesai dulu pandeminya baru menangani eksesnya (pemulihan ekonomi).
5. Sumber dana dari utang (Corona Bond) akan memberatkan keuangan negara yang sebelumnya sudah mengalami krisis. Dengan batas 3 tahun (2020 s/d 2023) defisit 5%, dan tahun 2024 kembali ke 3% terkesan Joko Widodo hanya memikirkan dirinya bukan skala Indonesia dalam mengambil keputusan.
Solusi Ekonomi Indonesia
Jika Covid-19 usai, Indonesia harus mengganti strategi geo-politik dan geo-ekonomi, karena Indonesia harus mandiri. Fokus pada Sumber Daya Alam (SDA) yang bisa menjadi produk andalan. Economic Tightenic atau geo-ekonomic Cina dengan system FDI terbukti tidak menjamin Indonesia bakal makmur, karena pembiayaan Cina berpotensi “rente” untuk pejabatnya.
Indonesia harus mengikuti langkah Arab Saudi dengan menerbitkan SWF (Sovereign Wealth Fund) berbasis Energi dan Mineral, seperti: 1. Nikel 2. Pasir besi 3. Batubara 4. Uranium 5. Tembaga 6. Emas 7. Geothermal 8. Dan lain-lain. Arab Saudi sudah menyadari bahwa minyak fosil (petro) pada 40 tahun ke depan akan habis, maka cadangan minyak 40 tahun “dijual” untuk mengubah posisi negara dari Petro Dollar menjadi Lifestyle & Services Country.
Arab Saudi membangun infrastruktur sebagai service country, dengan investasi USD 2.000 Miliar dari hasil jual cadangan minyaknya, dengan menerbitkan SWF (Sovereign Wealth Fund). Service Country berbasis Mekkah dan Madinah sebagai tamu Allah yang mencapai 5 juta orang setiap musim Haji dengan 100.000 orang yang Umroh setiap harinya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai catatan, cadangan dan sumber daya batubara Indonesia dari 7 pemilik IKP (awalnya milik PT. Aneka Tambang) yang habis masa kontraknya sekitar 1–5 tahun mendatang sekitar Rp15.000 Triliun atau 60% dari hasil sumber daya dan cadangan batubara Indonesia. Sejumlah 7 perusahaan yang akan segera habis kontrak pertambangannya, yakni : PT Arutmin Indonesia yang habis 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia yang habis 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal yang habis 31 Desember 2021. Ada pula PT Multi Harapan Utama habis 1 April 2022, PT Adaro Indonesia habis 1 Oktober 2022, PT Kideco Yaja Agung habis 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal habis 26 April 2025.
4 Selat Indonesia jadi devisa negara. Proxy War Amerika Serikat vs Cina, saatnya Indonesia ambil momentum dan jangan jadi pendengar atau melihat saja. Setiap permasalahan pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Semisal kita ambil contoh kemacetan yang tak pernah kunjung selesai di Jakarta, siapapun gubernurnya program utama adalah mengurai kemacetan, dan semua akhirnya terselesaikan dengan yang namanya Transportasi Online.
Bagaimana mengatasi depresi krisis ditengah pandemi ini menjadi suatu perubahan yang lebih baik, menjadi tonggak revolusi Indonesia sejajar dengan negara-negara maju di dunia.
Indonesia adalah negara maritim, negara yang memiliki kekayaan alam kelautan yang sangat melimpah. Letak geografis yang strategis. Indonesia adalah negara kepulauan, di dunia ada istilah Major Strait atau Selat utama yang berada diantara dua pulau. Terdapat ribuan selat yang ada di bumi ini sebenarnya, namun Indonesia punya 4 Selat Utama (Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar). Empat lokasi ini berpotensi menjadi pusat kegiatan industri, perdagangan, dan maritim dunia.
Sangat beruntung Indonesia mempunyai 4 Selat Utama, dimana selat tersebut dilalui lebih dari 200 vessel atau kapal besar perharinya. Apa untungnya bagi Indonesia? Jujur, Indonesia tidak dapat apa-apa! Menyumbang berapa kepada devisa negara? Sedikit! Oke, itu masa lalu kita. Kedepannya bagaimana agar 4 selat itu bisa menjadi pundi-pundi rupiah bagi devisa negara.
Kalau kita mengacu pada peraturan internasional, tidak ada yang mengatur negara kepulauan seperti Indonesia. Peraturan Internasional selalu mengacu pada aturan kontinental dan daratan. Kita harus ubah! Perairan Indonesia sebagai wilayah Indonesia dan milik serta untuk Indonesia maka Indonesia memutuskan misalnya “menutup” laut tersebut, apa yang akan terjadi? Dunia bisa geger!
Negara produsen besar di utara Indonesia seperti China, Taiwan, Jepang, Hongkong, dan Korea 20% Vessel mereka menuju Amerika Utara. sementara sisanya yaitu 80% nya menuju ke Asia, Afrika, dan Eropa dan semuanya melewati selat yang ada di Indonesia. Kebutuhan akan energy berupa minyak lebih dari 15 juta barrel perhari, dimana 80% didapat dari timur tengah dan melewati Selat Hormuz, juga melewati Selat Malaka. Mau lewat mana lagi jika bukan lewat Indonesia?
Australia jika mengirim barang pasti lewat Selat yang ada di Indonesia. Negara-negara Eropa mau ngirim barang ke utara Indonesia pasti lewat Indonesia. Dengan begitu perairan Indonesia adalah wilayah yang sangat strategis sekaligus sebagai 4 selat penting. Kira – kira apa sanggup muterin Indonesia lewat Papua Nugini? butuh 7 hari buat muterin Indonesia dan sudah termasuk laut lepas. kira-kira sanggup tidak? Tidak mungkin lewat laut lepas.
Apabila Indonesia menutup perairan Indonesia, saya yakin mayoritas perniagaan atau kegiatan ekspor impor dunia akan terhenti. Jadi Terserah mau mereka mau lewat mana. Pokoknya kalau lewat Indonesia harus bayar asuransi sebesar 1% dari barang yang dibawa. Kita tahu bahwa barang yang lewat selat Indonesia itu ada lebih dari 2 trilliun dollar atau 2.000 billion. Jika itu kita asuransikan atau kita pajakin versi kita dengan nama asuransi, kita dapat lebih dari 250 trilliun pertahun. Dan ini untuk devisa negara.
Jika ditutup apakah Cina dan Amerika yang ingin menguasai perdagangan dunia akan marah besar? Pasti jawabannya Iya! Namun, beranikah Indonesia bersikap untuk mempertahankan hak kita?