SURABAYAONLINE.CO- Selama 9 jam dimulai sejak pukul 09.00 hingga pukul 18.00 sejumlah budayawan peduli budaya Nusantara, Kamis (19/9), mengunjungi sembilan candi di Kabupaten Sidoarjo.
Berangkat dari halaman kantor Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Sidoarjo, candi pertama yang dikunjungi adalah Candi Pari di Kecamatan Porong. Candi yang dibangun tahun 1341 Masehi di zaman Kerajaan Majapahit ini cukup dikenal oleh masyarakat Sidoarjo. Konon, Raja Prabu Hayamwuruk membangun candi yang bentuknya mirip tumpukan padi itu untuk menghargai kerja petani yang rajin menanam makanan pokok rakyat kala itu.
Tak jauh dari Candi Pari, juga didirikan Candi Sumur. Itu untuk menandai, betapa sumber mata air di kawasan itu tak pernah kering.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Sidoarjo, Djoko Supriyadi, mengutus dua staf, M. Suprapto, SH dan Pribadi Jatmiko untuk mendampingi kegiatan rombongan budayawan. Sejumlah petugas Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo juga ditugasi melancarkan perjalanan dari satu candi ke candi lainnya.
Adapun komunitas budayawan yang mengikuti kegiatan ini antara lain dari Lembaga Pecinta Budaya Nusantara pimpinan Waris Santoso, Sanggar Candi Busana pimpinan Ki Nawar dan Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia Kabupaten Sidoarjo pimpinan Yadiman.
Dari Candi Pari dan Candi Sumur, acara napak tilas ke situs budaya peninggalan leluhur bangsa Indonesia itu dilanjutkan ke Candi Pamotan. Masih di wilayah Kecamatan Porong. Menurut catatan sejarah, candi itu adalah lokasi penambatan perahu pada jalur Kali Brantas sekarang.
Pada setiap candi yang dikunjungi tadi, para pegiat budaya menggelar ritual yang antara lain ditandai dengan suguh sesaji. Dari kejauhan. masyarakat yang tinggal kawasan sekitar candi mengikuti acara dengan khidmat.
Tujuan ritual suguh sesaji adalah memohon izin dan restu para leluhur untuk menyelenggarakan Ruwat Agung Bumi Nusantara, Jumat (20/9) malam, di Sekretariat Lembaga Pecinta Budaya Nusantara Desa Kebonsari, kawasan lingkar timur Kota Sidoarjo.
Acara ruwatan ini akan diikuti budayawan peduli budaya Nusantara dari berbagai kota di Jawa Timur. Bahkan utusan dari Yogyakarta sudah mengonfirmasi untuk mengikuti Ruwat Agung Bumi Nusantara yang dimaksudkan untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara Indonesia ini.
Lokasi napak tilas keempat yang dikunjungi adalah Candi Wangkal di Kecamatan Prambon. Dilanjutkan ke Candi Daleman di Kecamatan Tulangan serta Candi dan Prasasti Watu Tulis dan Candi Dermo di Kecamatan Wonoayu.
Candi terakhir yang dikunjungi adalah Candi Sumur Windu atau Candi Tawangalun di Kecamatan Sedati.
“Kabupaten Sidoarjo ini terbilang istimewa. Karena situs candinya ada yang berasal dari peninggalan Kerajaan Kahuripan, Dhoho serta Majapahit,” jelas M. Suprapto, SH, staf Dispora dan Pariwisata. Mantan Sekwan DPRD Kabupaten Sidoarjo berharap berbagai acara yang diadakan para budayawan ini kelak bisa membuat situs-situs budaya ini jadi destinasasi wisata.
“Ini tidak mudah. Butuh proses panjang. Karena itu budayawan bisa juga menggandeng Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk menggali lebih jauh potensi peninggalan sejarah berusia lebih dari 6 abad tersebut.
Yang juga menarik, setiap kali usai digelar acara ritual selalu ditutup dengan doa, dalam bahasa Jawa dan Arab (Islam).
Budayawan Sidoarjo, Winarto, menjelaskan, sebenarnya tidak ada yang aneh jika ada acara doa lintas agama di Indonesia. Ia jelaskan, sejak zaman Kerajaan Singosari hingga Majapahit, rajanya selalu menyatukan dua agama yang ada saat itu, Hindu dan Budha. Pemuka agamanya disebut Resi.
Winarto menambahkan, kalau ada kegiatan untuk kepentingan kerajaan, maka urusan agama kemudian disatukan.
“Dalam sejarah ada istilah Pasogatan. Itu mewakili agama Budha, ada Kasyiwan mewakili Hindu dan Karesian, mewakili para pemuka agama yang bertugas memimpin doa,” jelasnya.
Masyarakat umum di luar kerajaan urusan agamanya disebut Kapitayan. “Karena di lingkungan kerajaan gelar rajanya saja menyatukan dua agama, maka masyarakat luas pun tidak masalah dengan perbedaan agama dan kepercayaan. Jadi, toleransi beragama dalam masyarakat kita sebenarnya bukan barang baru. Itu warisan leluhur kita sejak ratusan tahun lalu,” papar Winarto. (Yami Wahyono)