SURABAYAONLUNE.CO —
Humor and pathos, tears and laughter are, in the highest expression of human character and achievement, inseparable “ (James Thurber, 1961).
Kutipan di atas oleh ahli retorika James Thurber (1961). Dinyatakan bahwa, humor dan pathos, tangisan dan tertawa, sebagai ekspresi jiwa manusia, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Intinya, pathos itu, terkait tingkat kedalaman kita dalam merasakan perasaan orang lain: sedih, gembira, tangis, ratapan, dan keceriaan, Sejauh mana kita mampu ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Sebagai politisi, public speaker, guru, instruktur, dan public figure, mereka harus memiliki kepekaan. Mereka harus memiliki kemampuan merasakan perasaan orang lain. Dengan kemampuan itu, mereka bisa mendalami apa yang dirasakan orang lain. Jika berbicara di depan massa, atau jika berbicara di depan audiens, pembicara sebagai public figure harus bisa mendalami perasaan pendengarnya.
Orang yang tidak dapat merasakan perasaan orang lain, sering gagal dalam komunikasi. Sering juga mereka tidak mampu menyampaikan gagasannya. Gagasan yang disampaikan tidak pernah menempel di benak pendengarnya. Intinya, apa saja yang disampaikan tidak bisa berdampak karena tidak ada ritensi yang kuat. Ritensi, dalam arti informasi pesan yang disampaikan tidak bisa melekat di benak para pendengarnya.
Di sinilah kekuatan kedua public figure, yaitu pathos. Taraf tenggang rasa itulah merupakan kekuatan public speaker, termasuk isntruktur, guru atau dosen serta para Dai dan politisi. Khusus, para Dai yang memiliki pathos yang tinggi, pasti mereka bisa merasakan perasaan para pengikutnya atau pendengarnya. Kemudian, suasana batin massa itu dibawa berkelana dengan untaian kata-kata retorikanya. Jika sudah mampu, maka bisa saja para pendengarnya itu terbawa larut: menangis, bergembira, sedih, tertawa, ceria. Semuanya terkait dengan pathos: perasaan ekspresi manusia yang tertinggi.
Dalam kaitanya dengan ekspresi manusia, James Thurber (1961) senantiasa menekankan agar kita menjaga perasaan batin orang yang kita ajak bicara. Jika dalam komunitas atau audiens, maka pelajarilah suasana batin audiens itu. Lalu, bawalah perasaan mereka. Uangkapkan dengan berbagai retorika, kosakata, kalimat, frasa, dan uraian dengan ekspresi sesuai dengan suasana dalam audiens itu. Dengan begitu, maka public figure, Dai, guru atau instruktur dan politisi akan mampu menggaet audiensnya. Ini—dalam praktiknya— memang gampang-gampang susah.
Jadi, bisa saja dalam persiapan sebelum berbicara kita sudah menyiapkan materi. Dan, itu memang bagus dengan persiapannya. Namun, jika kita kaku dan hanya berpacu pada materi yang direncanakan saja, maka kita bisa gagal menyampaikan gagasan-gagasan kita. Kalau toh sudah disampaikan, maka ritensinya rendah. Daya ingat menempel di benak para pendengarnaya sangat rendah. Artyinya, tidak berdampak pada audiens kita, meski sudah disampaikan semuanya.
Jadi, pathos itu berupa tingkatan perasaan kita ikut serta merasakan batin dan perasaan orang lain. Utamanya orang yang kita ajak bicara. Kemampuan ini sebagai unsur wajib bagi public figure, politisi, public speaker, Dai, guru atau dosen serta instruktur dalam seminar.
Pemerolehan kemampuan pathos juga dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan seseorang. Karena pathos itu terkait perasaan dan batin orang lain, maka kita harus berlatih berempati. Ariostoteles, dalam retorika terkait pathos, lebih mengedepankan pada istilah empathy. Bisa saja, pathos itu sama dengan empathy.
Dalam Kamus Webster, ethos itu berasal dari Bahasa Inggris kuno pada abad 16-an. Kemudian, dalam perkembangannya, pathos, disetarakan dengan kata empathy. Dalam Kamus Webster dijelaskan bahwa “Empathy is the ability to feel the emotions of another.” Empati itu kemapuan manusia dalam merasakan emosional orang lain. Jadi, semakin kita berempati, semakin kita bisa beradaptasi dengan perasaan orang lain.
Ingat, kemampuan berempati itu merupakan kewajiban untuk dimiliki oleh manusia agar dalam hidupnya, mereka mampu berkomunikasi secara universal. Semakin daya empati tinggi, semakin manusia itu bisa berkomunikasi dengan tingkatan tinggi pula. Karena bersifat universal, maka komunikasinya tidak dalam tataran loka, nasional, tetapi juga global.
Di sinilah, pentingnya pathos dalam retorika. Public figure, politisi, public speaker, guru atau dosen, instruktur, dan Dai, wajib meningkatkan pathosnya. Dengan pathos, apa saja yang disampaikan, bisa berdampak dengan ritensi tinggi. Dengan kata lain, jika pathos rendah, maka kemampuan retorika kita rendah pula: baik retorikan tertulis maupun retorikan lisan.
Penulis adalah Pengamat Pendidikan dan Sosial; President of International Association of Scholarly Publishers, Editors, and Reviewers (IASPER); dosen STIE Perbanas Surabaya.