Surabayaonline | Jakarta – Langkah para pelaku pengobat alternatif yang tergabung dalam Forum Induk Pengobat Tradisional Indonesia (FIPTI) mengadukan nasibnya ke DPR mendapatkan dukungan dari artis kondang Eppi Kusnandar.
Pemeran Muslihat dalam sinetron Preman Insyaf ini mengakui kalau keberadaan pengobat tradisional sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia.
“Saya adalah bukti nyata dari manfaat pengobatan alternatif khususnya herbal. Jadi keberadaan mereka ini jangan sampai dibatasi oleh aturan-aturan. Toh nanti masyarakat yang akan menilai,” kata Kang Eppi yang sebelumnya diberitakan sembuh dari Kanker Otak berkat berobat secara tradisional.
Seperti diketahui, Kamis (10/1/2019) para pelaku pengobatan alternatif yang terhimpun dalam FIPTI mendatangi komplek parlemen di Senayan. Mereka mengadukan nasibnya yang disandera PP 103 ke DPR. Mereka menilai PP 103 ini sangat membelenggu para pengobat tradisional di Indonesia dalam melakukan prakteknya.
“Mengingat bahwa pengobatan tradisional berakar pada aspek tradisi, turun temurun, aspek sosial budaya, etnik dan agama,” kata Ketua Umum FIPTI B. Mahendra usai bertemu anggota Fraksi PKS Muhammad Nasir Djamil, di komplek parlemen.
Untuk itu, lanjut Mahendra, maka Pengobat Tradisional harus berdiri sendiri berdasarkan keilmuan tradisionalnya dan tanpa harus dibenturkan dan atau harus dicampur adukan dengan keilmuan pengobatan konvensional.
“Karena dasar keilmuan pengobat tradisional adalah bermuara pada nilai nilai empiris yang turun menurun. Perlu diberi kebebasan untuk menentukan jenis pendidikannya sendiri yakni melalui lembaga pendidikan nonformal atau kursus kursus yang disesuaikan dengan program kementrian pendidikan (leveling ) tanpa harus dipaksakan untuk kuliah D3,” katanya.
Sekjen FIPTI Tengku Maulana Sanusi mengatakan, pengobat tradisional diberi ruang untuk memperkenalkan dirinya dan pengobatannya di publik dengan batasan batasan yang wajar.
“Kalau di Aceh, biasanya di pasar ada ahli pengobatan pake mic menawarkan pengobatannya. Tentu dengan PP 103 ahli obat tersebut bisa melanaggar hukum,” katanya.
Untuk itu, Tengku berharap agar FIPTI diizinkan beriklan atau selebaran. “Tujuannya tentu agar masyarakat mengetahui keahlian anggota FIPTI yang ribuan orang jumlahnya,” katanya.
Dihubungi di tempat terpisah, Jeng Ana yang dikenal sebagai Ratu Herbal Indonesia menyatakan pendapat senada dengan Tengku Maulana Sanusi. Menurutnya, adanya pembatasan iklan sangat merugikan para pengobat Tradisional.
“Menurut hemat kami biarkan masyarakat yang memberikan hukuman, tapi jangan hak kami dibatasi. Nanti masyarakat akan melakukan seleksi sendiri. Yang tidak bermutu pasti akan mati dengan sendirinya,” kata Jeng Ana.
Adanya ketentuan agar pengobat Tradisional mengikuti pendidikan setara D3 juga dinilai sangat membingungkan.
Masalahnya, Indonesia belum memiliki lembaga pendidikan kesehatan (pengobatan) tradisional yang memadai.
“Kami menyesalkan belum ada perhatian pemerintah terhadap permasalahan tersebut,” tambah Jeng Ana.
Kewajiban mengikuti pendidikan itu merupakan amanat PP No 103 Tahun 2014 bahwa para pelaku pengobatan tradisional (terapis) empiris harus mendapat pendidikan selama dua tahun dan terapis kesehatan komplementer dan terintegrasi selama tujuh tahun, terhitung sejak PP No 103 disahkan pada 2014. (yit)