SURABAYAONLINE.CO – Bupati Sidoarjo Subandi, setelah rapat memutuskan membongkar paksa tembok pembatas Perumahan Mutiara Regency pada 19 Desember 2025, demi memuluskan akses jalan perumahan tetangga, Mutiara City, yang sejak awal berdiri diduga buta akses jalan.
Keputusan kontroversial ini, mengabaikan rekomendasi resmi DPRD Sidoarjo dan memicu perlawanan hukum besar-besaran dari warga, yang merasa hak keperdataan dan keamanan lingkungan mereka dikorbankan, demi kepentingan bisnis pihak ketiga.
Langkah sepihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo ini, menjadi preseden buruk dalam penataan ruang, karena mengatasnamakan kepentingan umum untuk menyubsidi pengembang swasta yang terjepit masalah aksesibilitas, yakni semata untuk kepentingan pengembang Mutiara City dan warga konsumen huniannya pun dibikin ketetpaksaan.
Warga Mutiara Regency kini berada dalam ketidakpastian mendalam, setelah kenyamanan one gate system (sistem satu gerbang) yang mereka beli mahal terancam berubah menjadi jalur lintasan umum tanpa mitigasi risiko keamanan yang jelas.
Bupati Subandi berdalih bahwa jalan tersebut adalah Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) yang telah diserahkan kepada negara, sehingga menjadi Barang Milik Daerah (BMD).
Namun, narasi ini ditabrak fakta bahwa pembongkaran dilakukan sebelum terbitnya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), yang menjadi syarat mutlak pemanfaatan ruang sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021.
“Kami menemukan indikasi kuat bahwa integrasi jalan ini hanya semata-mata untuk kepentingan pengembang Mutiara City,” tegas Urip Prayitno, SH, Kuasa Hukum warga Mutiara Regency.
Ia menambahkan bahwa kliennya akan menempuh jalur hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), begitu Surat Keputusan (SK) pembongkaran resmi diterbitkan.
Ketegangan makin meruncing, karena Bupati dianggap melakukan pembangkangan politik terhadap legislatif. DPRD Sidoarjo melalui Komisi A dan C, sebenarnya telah mengeluarkan empat butir rekomendasi, termasuk larangan membuka akses jalan penghubung tersebut sebelum kajian teknis rampung.
Rekomendasi dewan ini didasari hasil kajian Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin) dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), yang menunjukkan potensi kekacauan sirkulasi kendaraan jika tembok tersebut roboh.
Sedangkan OPD (Organisasi Pemerintahan Daerah) terkait yakni Dinas Permukiman – Cipta Karya dan Tata Ruang, dibuat tak berdaya yang merupakan alat kekuasaan yang wajib melaksanakan keputusan perintah Bupati.
Arju Herman dari Pemantau Keuangan Negara (PKN) Korwil Jatim, menilai tindakan ini sebagai bentuk Onrechtmatige Overheidsdaad (OOD) atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa. PKN Korwil Jatim menyoroti ketiadaan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) tingkat kabupaten yang seharusnya menjadi landasan hukum setiap integrasi kawasan pemukiman.
Masyarakat kini bertanya-tanya, mengapa Pemkab begitu gigih “pasang badan” untuk pengembang, yang sejak awal membeli lahan tanpa akses jalan memadai?
Di balik dalih integrasi, terselip kerugian material warga yang selama puluhan tahun merawat fasum secara mandiri, kini harus rela jalan pemukimannya rusak oleh beban kendaraan luar yang masif tanpa ada kompensasi pembangunan infrastruktur baru.
Pertarungan ini bukan lagi persoalan tembok beton pembatas perumahan, melainkan pertaruhan martabat hukum di Sidoarjo. Jika pemerintah daerah bisa dengan mudah menabrak rekomendasi legislatif dan kajian akademis demi pengusaha, maka hak-hak konsumen properti di masa depan berada di ujung tanduk kekuasaan. (Rin)


