SURABAYAONLINE.CO-Sekretaris Jenderal Barisan Gus dan Santri, Yusuf Hidayat, menyampaikan rasa syukur atas hasil islah yang mulai terbangun di tubuh PBNU. Ia berharap upaya rekonsiliasi ini mampu menghadirkan solusi terbaik, sehingga perpecahan internal tidak lagi menjadi konsumsi utama publik.
Menurut Yusuf, harapan besar juga datang dari para pengurus Nahdlatul Ulama, para kiai sepuh, serta putra-putri mahasiswa agar konflik yang terjadi dapat diselesaikan melalui musyawarah kubra. Ia menegaskan bahwa jalan musyawarah merupakan tradisi utama NU dalam merawat kebersamaan dan persatuan jam’iyah.
Yusuf menekankan, kekayaan terbesar NU sejatinya tidak terletak pada materi, bisnis, atau sumber daya alam, melainkan pada kekayaan ulama dan pondok pesantren yang selama ini menjaga serta merawat tradisi keilmuan dan spiritual NU. “Kekuatan luar biasa NU bersumber dari pesantren dan para ulama yang ikhlas, tanpa kepentingan apa pun selain menjadikan NU lebih baik dan memberi kontribusi nyata bagi bangsa, negara, dan umat,” ujarnya.
Ia mencontohkan, gagasan-gagasan luhur yang lahir dari pesantren seperti Ploso, Lirboyo, dan Tebuireng merupakan warisan pemikiran yang bersih dari kepentingan pribadi. “Inilah kekuatan sejati NU yang seharusnya dirawat, bukan justru diabaikan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Yusuf mengungkapkan bahwa berbagai pertemuan telah dilakukan hingga belasan kali. Namun demikian, salah satu opsi yang mulai mengemuka untuk mengakhiri konflik adalah percepatan muktamar atau penyelenggaraan Muktamar Luar Biasa (MLB). Opsi ini mencuat karena belum terlihat kearifan bersama dari pihak-pihak yang bertikai, meski harapan islah masih sangat besar.
Dalam tradisi NU, lanjut Yusuf, kepemimpinan tertinggi—terutama Rais Aam—memiliki posisi moral yang harus dihormati. Nilai tawaduk, tabayun, serta kesediaan menerima klarifikasi merupakan bagian dari adab jam’iyah yang tidak boleh ditinggalkan. Mengabaikan prinsip ini, menurutnya, sama saja dengan melemahkan kepemimpinan sekaligus mengikis penghormatan terhadap para masyayikh dan ulama sepuh.
Ia juga menyoroti bahwa NU sebenarnya terbiasa menghadapi dinamika pascamuktamar. Namun kondisi saat ini dinilai berbeda karena konflik terjadi di tengah perjalanan organisasi dan menjelang kurang dari satu tahun menuju muktamar. “Ini memunculkan pertanyaan besar, ada persoalan apa yang melampaui konteks organisasi semata,” ujarnya.
Yusuf menegaskan kembali bahwa DNA jam’iyah NU adalah menjaga tradisi, kekuatan spiritual, dan silaturahim. “Kekayaan NU bukan tambang, bukan proyek bisnis, dan bukan materi yang diperebutkan. Justru eksploitasi aspek material berpotensi menjadi pemicu perpecahan,” katanya.


