SURABAYAONLINE.CO, Surabaya – Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya mengimbau siswa SD dan SMP untuk melakukan pembelajaran dari rumah selama empat hari, mulai 1 hingga 4 September 2025. Kebijakan ini diambil menyusul situasi Surabaya yang mencekam dalam dua hari terakhir.
“Betul, siswa akan melakukan pembelajaran di rumah pada 1-4 September. Namun sifatnya kondisional, karena kalau terlalu lama belajar di rumah juga kurang baik,” ujar Kepala Dispendik Surabaya, Yusuf Masruh, Minggu (31/8).
Aksi yang berlangsung di Surabaya selama dua hari terakhir membuat kondisi kota terganggu. Bahkan, dua bangunan cagar budaya, yakni Grahadi sisi barat dan Polsek Tegalsari turut terdampak.
Menurut Yusuf, kondisi ini dikhawatirkan memengaruhi psikologis anak-anak. Karena itu, sementara waktu tidak ada aktivitas belajar di sekolah. “Adanya aksi tentu berpengaruh pada psikologis anak. Metode pembelajaran kan ada banyak, jadi kalau sementara belajar di rumah juga tidak masalah,” jelasnya.
Selama pembelajaran dari rumah, sistem daring akan digunakan. Guru akan memandu siswa melalui tautan tatap muka online. “Khusus untuk anak SD dan SMP, kalau PAUD menyesuaikan. Pembelajaran dari rumah juga tetap ada tugas bagi anak-anak dengan jam yang efektif,” paparnya.
Yusuf juga mengingatkan agar siswa tetap fokus belajar dan tidak ikut terlibat dalam aksi. “Saya berharap orang tua turut memantau anak-anak,” pungkasnya.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mendorong Pemkot Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk memberi kesempatan anak belajar di rumah pada 1-5 September 2025. Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Isa Anshori mengatakan, Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim harus mengambil langkah tersebut untuk mengantisipasi adanya rencana aksi massa lanjutan.
Isa menyebutkan, seiring meningkatnya dinamika sosial-politik nasional, saat ini beredar luas informasi di berbagai kanal media sosial mengenai rencana aksi massa lanjutan dari masyarakat pada tanggal 1–5 September 2025 di Gedung DPR RI Jakarta.
“Dalam informasi yang tersebar, aksi tersebut diberi tajuk seruan aksi demo serempak, namun tidak mencantumkan siapa penanggung jawabnya. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aksi serupa bisa meluas ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jawa Timur dan Kota Surabaya,” kata Isa, Minggu (31/8).
Isa menjelaskan, belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya, aksi massa yang tidak memiliki penanggung jawab dan koordinasi yang jelas, sering kali menimbulkan kerentanan sosial. Tidak jarang, situasi lapangan yang semula terkendali, bisa berubah menjadi chaos dan berujung pada tindakan kekerasan yang tidak diinginkan.
Isa mendorong Dinas Pendidikan (Dispendik) Jatim dan Dispendik Kota Surabaya untuk memberikan kebijakan khusus, memberi kesempatan kepada anak-anak untuk belajar dari rumah (BDR) pada rentang tanggal 1–5 September 2025.
“Hal ini merupakan langkah antisipatif untuk memastikan keselamatan anak-anak dari potensi kerumunan dan gesekan sosial yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Proses pembelajaran tetap bisa dilakukan dengan metode daring atau penugasan mandiri, sehingga tidak mengganggu capaian akademik anak,” paparnya.(*)


