SURABAYAONLINE.CO, Surabaya – Memasuki usia ke-732, Kota Surabaya terus menunjukkan komitmennya dalam melindungi warganya, termasuk anak-anak yang rentan terhadap berbagai permasalahan sosial. Salah satu isu yang tengah menjadi sorotan adalah penanganan terhadap anak-anak yang terlibat dalam kenakalan remaja, kekerasan, hingga perilaku yang berpotensi memicu patologi sosial di masyarakat.
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur M. Isa Ansori menegaskan bahwa setiap anak yang terjerat dalam lingkaran kekerasan maupun kenakalan sejatinya adalah korban dari berbagai kondisi yang kompleks.
“Korban dari kemiskinan yang memaksa orang tua bekerja 12 jam sehari. Korban lingkungan kumuh yang lebih banyak menawarkan jalan pintas daripada pendidikan. Korban sistem yang kerap melihat mereka sebagai masalah yang harus dihukum, bukan sebagai generasi yang perlu diselamatkan,” kata Isa, Selasa (20/5).
Menurut Isa, Pemkot Surabaya sendiri telah merespons persoalan ini melalui program Kampung Anak Negeri (Kanri) dan Asrama Bibit Unggul. Namun, ia mempertanyakan efektivitas jangka panjang dari program tersebut. “Jika kita jujur, berapa banyak dari anak-anak ini yang benar-benar berubah setelah kembali ke rumah? Ke keluarga yang masih miskin, ke lingkungan yang masih keras, ke masa depan yang masih suram?” sebut Isa.
Isa mengaku telah berdiskusi langsung dengan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi terkait hal ini. Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan bahwa Surabaya memiliki potensi kuat untuk menjadi kota pelopor penanganan anak-anak bermasalah, seperti pelaku tawuran, pengguna narkoba, anak putus sekolah, hingga pelaku kekerasan dalam keluarga.
Isa lalu mencontohkan seorang remaja berinisial A (14), anak dari buruh serabutan di kawasan Surabaya Utara, yang sempat terlibat dalam tawuran. Setelah dibina selama tiga bulan di Kanri, anak tersebut menunjukkan perubahan positif. Namun, ketika kembali ke lingkungan asalnya, tantangan yang sama kembali menghadangnya.
Untuk itu, Isa mengusulkan agar Surabaya menerapkan konsep Youth Guarantee seperti yang dijalankan di Finlandia. Konsep ini menekankan bahwa setiap anak tidak hanya ditampung di asrama, tetapi dibina dalam ekosistem komunitas yang mendukung tumbuh kembangnya secara holistik dan tetap melibatkan keluarga.
Lebih rinci, Isa memaparkan bahwa Konsep Youth Guarantee yang ditawarkan mencakup beasiswa sekolah atau pelatihan keterampilan (seperti listrik, otomotif, coding), pendampingan oleh mentor (guru, relawan, hingga mantan anak binaan yang sudah berhasil), serta program magang di UMKM atau perusahaan lokal yang bekerja sama dengan Pemkot Surabaya.
Selain anak-anak, orang tua mereka juga akan diberdayakan melalui pelatihan kerja jangka pendek, seperti menjahit atau mengelas, agar mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan tanpa harus meninggalkan anak. Kelas parenting pun disiapkan di pusat layanan keluarga untuk meningkatkan kapasitas pengasuhan.
“Bayangkan jika A, setelah keluar dari asrama, dapat pelatihan servis HP dan dibimbing oleh seorang mekanik yang peduli. Atau jika ibunya dilatih membuat kue dan diberi modal kecil. Bukankah peluang mereka untuk hidup lebih baik akan jauh lebih besar,” kata Isa.
Untuk itu, Isa mengharapkan agar Kanri tidak sekadar menjadi tempat pembinaan, tetapi bertransformasi menjadi pusat kegiatan komunitas. Tempat ini bisa terbuka untuk semua anak di sekitar, bebas stigma, dan menjadi wadah pendidikan informal seperti kursus komputer, bengkel mini, hingga lapangan futsal. “Warga sekitar pun bisa dilibatkan sebagai pengajar, mentor, atau orang tua asuh,” tambahnya.
Isa mengusulkan model Satu RT Satu Mentor sebagai program konkrit yang bisa langsung dijalankan. Pemuda Karang Taruna maupun ibu-ibu PKK dilatih untuk menjadi pemantau dan pembimbing anak-anak di lingkungannya masing-masing.(*)