SURABAYAONLINE.CO – PERKARA tindak pidana pembunuhan yang berencana (Pasal 340 KUHP), maupun yang tidak berencana (Pasal 338 KUHP), adalah perkara sehari-hari bagi penyidik kepolisian.
Pembuktiannya mudah. Bila visum et repertum (VeR) dari kedokteran forensik sudah menyimpulan korban mati karena akibat penembakan atau tusukan benda tajam, tinggal membuktikan perbuatan siapa yang menyebabkan matinya korban (adequate causaliet).
Bila pembunuhan berencana tinggal membuktikan antara niat membunuh pelaku dan pelaksanaan pembunuhan korban, ada jeda waktu untuk pelaku menyiapkan kebutuhan eksekusi niatnya membunuh korban, serta dapat dikaji dari motif yang melatari pembunuhan.
Bila pembunuhan tidak direncanakan, kesengajaan membunuh tidak diawali perbuatan persiapan, hanya karena peristiwa atau motif yang tiba-tiba terjadi yang menghantarkan pelaku untuk membunuh korbannya.
Misalnya dua pengendara mobil yang bertabrakan di jalan raya, lalu keduanya emosi saling menyalahkan dan akhirnya berkelahi, yang akibatnya salah satu mati. Tidak ada desain untuk membunuh korban sebelumnya.
Namun, mengapa dalam penanganan perkara pembunuhan berencana Brigadir Joshua yang didalangi Irjen Fredy Sambo, begitu butuh waktu sebulan untuk mengungkapkannya dan terkesan begitu pelik ??
Peliknya penangan perkara ini, saya kira bukan terletak pada soal teknis pembuktian perbuatan materiil (materiel feit) pembunuhan berencana oleh para pelaku yang terlibat, tetapi lebih oleh faktor kualitas non yuridis para aktornya, terutama kualitas Irjen Fredy Sambo. Baik dalam kualitasnya sebagai perwira tinggi bintang dua di jajaran Polri, kualitasnya sebagai Kadiv Propam, kualitas strata ekonomi yang dimiliki dan kualitas intelektualnya.
Dalam referensi hukum positivistik dogmatik, ada asas hukum yang menyatakan setiap orang sama di depan hukum atau equality before at the law. Namun dalam kajian sosiologi hukum, yang lebih mengkaji konteks bekerjanya hukum daripada teks hukum, asas persamaan di depan hukum itu hanya slogan dogmatik saja.
Dalam alam praxis penegakan hukum, yang terjadi sesungguhnya adalah ketidaksamaan di belakang hukum atau unequality after at the law. Ketika seseorang berurusan dengan hukum, konteks kualitas sosio-ekonomi-kulturalnya akan berpengaruh dalam nasib penanganan kasus hukum yang sedang menjeratnya.
Donald Black dalam bukunya “The Behavior of Law” (1976), mengurai variabel-variabel sosial-ekonomi-kultural seseorang yang sangat berpengaruh dalam perilaku hukum terhadapnya.
Black menyatakan hukum hanyalah kumpulan huruf-huruf yang mati (dead letters). Guna menghidupkan atau menegakkan kumpulan huruf-huruf yang mati inilah diperlukan manusia-manusia pelaksana hukum, yang sangat terpengaruh atau dipengaruhi variabel-variabel non yuridis internal dirinya sendiri, juga aspek eksternal kualitas orang yang sedang berurusan dengan hukum.
Black menyebut ada lima varibel yang mempengaruhi perilaku hukum pada seseorang. Yakni stratifikasi ekonomi, morphologi (relasional), organisasi, kultur pribadi dan kontrol sosial. Enam variabel ini sangat berpengaruh dalam keberdayaan hukum seseorang (quantity of law).
Dalam soal stratifikasi ekonomi, seseorang pelaku tindak pidana yang kaya akan kecil potensinya terkena hukuman dibanding pelaku yang miskin. Dalam salah satu proposisinya Black mengatakan “law varies directly with stratification rank”. Semakin tinggi tingkat stratifikasi eknominya maka keberdayaannya untuk menghindar dari hukum akan lebih kuat, karena ia bisa membayar pengacara handal dan mahal untuk membela kepentingan hukumnya, atau menyuap para penegak hukum untuk memenangkannya.
Sesuatu yang tidak mampu dilakukan orang yang berurusan dengan hukum dari warga stratifikasi ekonomi rendah alias miskin. Karena itu, Black menyimpulkan: hukum yang mengarah ke (masyarakat) bawah lebih besar daripada yang mengarah pada masyarakat atas (downward law more great than upward law). Dan memang seperti itu realitas praksis penegakan hukum.
Apabila stratifikasi adalah aspek vertikal dalam hubungan sosial masyarakat, maka variabel morphologi atau relasional adalah aspek horizontal dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
Variabel morphologi ini juga membangun keberdayaan seseorang berhadapan dengan hukum. Semakin seseorang dekat atau punya hubungan khusus dengan pusat kekuasaan (center of social power), penegakan hukum akan semakin sulit menyentuhnya, dibanding yang tidak punya relasi dengan pusat kekuasaan.
Kalau anda anak presiden dan naik mobil tanpa SIM atau STNK, muskil rasanya anda akan ditilang polantas. Bandingkan kalau anda anak orang kebanyakan.
Variabel lainnya adalah keikutsertaan seseorang dalam organisasi sosial. Mereka yang jadi pimpinan suatu organisasi yang besar, akan lebih memiliki keberdayaan untuk susah disentuh hukum dibanding orang yang tidak punya organisasi atau tidak menjadi anggota organisasi apa pun (less organization).
Variabel selanjutnya adalah kultur, atau tingkat kepandaian atau intelektualitas seseorang. Semakin dia pandai maka dia akan lebih berdaya menghadapi perkara hukum dibanding yang bodoh atau tidak berpendidikan. Anda yang berpendidikan akan paham hak-hak anda ketika berurusan dengan hukum, dibanding mereka yang tidak berpendidikan (less cultural).
Variabel terakhir dan yang juga sangat penting adalah variabel kontrol sosial. Black mengatakan bila hukum ditegakkan secara lemah, maka untuk menjaga ketertiban di masyarakat, kontrol sosial harus kuat. Juga sebaliknya, bila kontrol sosial lemah, masyarakat apatis, penegakan hukum harus berdaya. Idealnya, hukum dan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus kuat. Saling mengisi. Bila keduanya lemah, yang terjadi adalah masyarakat dan bangsa yang chaos. Kacau.
Dengan menggunakan teori Donald Black di atas sebagai pisau analisis, maka dapatlah dipahami mengapa penanganan kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan Irjen Sambo, mantan Kadiv Propam Polri, seperti menangani kasus yang amat pelik. Padahal kejahatan pembunuhan adalah kejahatan konvensional biasa.
Semua itu karena aktor intelektual dalam pembunuhan Brigadir J ini adalah seseorang yang berada dalam stratifikasi ekonomi yang tinggi, berada di ring satu dengan pusat-pusat kekuasaan di tubuh Polri, jabatannya sebagai Kadiv Propam, serta kultur intelektualnya yang tinggi, dimana semua itu memberikan keberdayaannya untuk mempengaruhi bekerjanya hukum kepada dirinya atas perbuatan pidananya, agar tidak diberlakukan secara ‘equal’, dengan cara membuat skenario tembak menembak yang menyebabkan matinya Brigadir J, yang nyaris dibenarkan atau diamini oleh pernyataan-pernyataan pejabat Polri pada awalnya.
Beruntungnya, kontrol sosial masyarakat tidak percaya begitu saja pada skenario buatan ini. Tekanan yang kuat dari masyarakat sipil (civil society) dan pers, menyebabkan Polri harus mengungkap peristiwa sesungguhnya atas kematian Brigadir J.
Alhasil, keberdayaan stratifikasi, morphologi, organisasi dan kultur pribadi Irjen Sambo tak mampu untuk membendung penegakan hukum untuk tidak mengarah padanya. Hidup kontrol sosial dan masyarakat sipil yang berdaya, untuk mencegah praktek penegakan hukum yang tebang pilih.
Oleh :
Prija Djatmika, Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.