Catatan Pilkada Banyuwangi (1)
Oleh : Yusron Aminulloh
SURABAYAONLINE.CO – Dalam narasi teoritis, dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah. Tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Dan realitas menunjukkan, banyak Pilkada di Indonesia, diwarnai dengan kelahiran pola dinasti. Adalah nyata, banyak Bupati yang karena sudah menjabat 10 tahun, istrinya menjadi penerus.
Sebut antara lain, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Kediri, Kota Batu dan puluhan kota lain yang mampu melahirkan dinasti tersebut. Mungkin sah-sah saja dalam cara berpikir demokrasi, cuma ketidakpantasan selalu menjadi perdebatan.
Meski lama-lama “ketidakpantasan” itu sudah tidak pernah lagi menjadi bahasan. Bak suara kereta yang berisik menjadi indah saat tiap hari didengarkan.
Lantas Bagaimana kemungkinan itu terjadi dipemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di Kabupaten Banyuwangi ?
Diatas kertas dengan jejak digital keberhasilan Anas memajukan kota ini, bisa jadi menjadi modal utama pasangan istri dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, yakni Ipuk Fiestiandani, sebagai calon bupati berpasangan dengan H Sugirah diusung oleh PDI Perjuangan serta beberapa partai koalisi lainnya.
Sementara di kubu lain, adalah calon bupati Yusuf Widyatmoko yang merupakan Wakil Bupati Banyuwangi selama 10 tahun mendampingi Bupati Abdullah Azwar Anas menjalankan roda pemerintahan.
Yusuf Widyatmoko berpasangan dengan KH Muhammad Riza Aziziy (Gus Riza) sebagai calon wakil bupati. Gus Riza merupakan keluarga besar di Pondok Pesantren (Ponpes) Darussalam Blokagung, salah satu pondok besar dan memiliki pengaruh kuat di Kabupaten Banyuwangi.
Pasangan calon Yusuf Widyatmoko dengan Gus Riza itu sementara memperoleh rekomendasi dari Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk maju pada pemilihan bupati dan wakil bupati yang akan digelar pada 9 Desember 2020.
Suara Rakyat ?
Bisa jadi fakta psikologis Anas adalah pahlawan bagi Banyuwangi. Pemberitaan media, image yang terbangun adalah Banyuwangi maju pesat sejak dikendalikan mantan anggota DPR RI tersebut.
Meski secara kasat mata, geliat ekonomi jauh lebih melaju pesat Jember, sebagai tetangga. Pembangunan Mall, RS Internasional, Hotel Berbintang, Resto dan lain-lain antri masuk Jember. Meski ini juga bukan karena faktor Bupati Faida, tetapi karena etos usaha swasta, iklim usaha maju tak terbendung. Ini tidak terjadi di Banyuwangi. Wajah kotanya tidak banyak berubah, geliat ekonomi jauh dibawah Jember.
Tapi apapun Anas berhasil ubah Image maju Banyuwangi menjadi kota wisata nasional. Ini yang dijadikan modal akan melahirkan dinasti di Banyuwangi.
Ada 3 analisa kemungkinan :
Pertama, fakta psikologis beda dengan fakta sosiologis. Apa yang diberitakan dimedia lokal dan nasional (psikologis) beda jauh dengan apa yang dirasakan masyarakat (sosiologis).
Kayaknya tim sukses Anas kurang membaca fakta ini. Inilah yang kemudian membuat agak berat mereka “diterima” masyarakat. Akarnya “tipis”. Bahkan konon jajaran PNS dikota Osing ini kurang nyaman dengan upaya “dinastisasi” ini.
Kedua, faktor Yusuf Widyatmoko. Sosok satu ini jangan diremehkan. Ia menguasai akar PDI Perjuangan di lini bawah. Meski secara formal sudah “terpental” dari struktur. Kesabaran Yusuf 10 tahun adalah prestasi gemilang. Ia tak dikenal diranah nasional, ia tak populer dimedia, tapi ia dekat dengan masyarakat.
Ini modal sosial yang tak ternilai, mengalahkan modal finansial yang disiapkan tim dinasti Anas. Orang sering melupakan “tanaman” Yusuf yang suatu saat pasti ada panennya.
Ketiga, faktor blok Agung. Adalah kekuatan yang tak juga dihitung matang tim Anas. Meski nama KH Muhammad Riza Aziziy (Gus Riza) belum populer. Tapi patron pada Kyai Hisyam Syafaat (abahnya) adalah faktor yang punya posisi tawar yang tinggi.
Andaikan tim politik Anas matang, jeli dan tajam, istri Anas Ipuk Fiestiandani akan dipasangkan dengan Yusuf Widyatmoko. “Magang” dulu 5 tahun jadi wakil Yusuf, maka pasangan ini tak mungkin terkalahkan.
Tapi pilihan politik tidak selalu ideal. Tidak bisa hitam putih, ada kompromi. Dan itulah yang kelak melahirkan perseteruan berkepanjangan.
Dan yang pasti PDIP sedang kurang tajam membaca arus bawah. “Kecelakaan” Megawati mengganti Anas dengan Puti di Pilkada Jatim, bisa jadi terulang di Banyuwangi.***
Penulis Pengamat Sosial, Pendiri MEP Institute.