SURABAYAONLINE.CO — Berita tentang Mendikbud, Nadiem Makarim, membuang naskah pidato di Universitas Indonesia (UI) sungguh mencengangkan. Ketika menyampaikan pidato di UI (4/12), dia mengaku membuang naskah pidato yang sudah disiapkan. Ini, secara protokoler, ada fenomena unik. Dalam keseharian, kehidupan formal sudah terbiasa ada protokoler. Termasuk, naskah pidato yang disiapkan.
Fenomena itu ibarat dua dunia berbeda. Dunianya Nadien Makarim berbeda dengan kebiasaan acara formal di kemendikbud sebelumnya. Beda zaman beda pikiran. Sikap itu refleksi dari cara dan strategi. Cara yang dipakai Mas Nadiem lebih efisien dan cepat. Mudah-mudahan efektif.
Lebih penting lagi, fenomena ini ibarat ada jurang pemisah. Jurang itu Antara gaya lama dan gaya baru. Jika ekspresi membuang naskah pidato itu benar, maka kebijakan dalam kebiasaan nantinya beda. Itu tergambar dalam sikap itu. Dalam Bahasa manajemennya, itu adalah kecepatan dan kegesitan. Cepat karena ramping. Cepat karena nihil birokrasi. Istilah kerennya adalah lean and agile.
Jika fenomena itu kita teropong lebih jeli, maka kita bisa menemukan ketegangan kreatif (creative tension). Ini istilah pinjam dari Peter Senge (1991) tentang Creative Tension. Dalam fenomena itu, Ada gap antara apa yang diinginkan Nadiem Makarim dan kondisi sebenarnya saat ini. Keinginan itu tertuang dalam visi. Pandangan ke depan nan jauh. Generasi mendatang sudah tergambarkan di dalam benak Mas Nadiem Makarim.
Visi itulah yang akan menarik kondisi saat ini (present condition). Apa benar, birokrasi di dunia pendidikan itu parah seperti yang dikeluhkan dalam istilah birokrasi? Dan, ini senantiasa diekspresikan Mas Nadiem Makarim, hampir dalam setiap pidatonya. Beban berat itu rupanya dia melihatnya. Kemudian, dia berusaha mendekatkan kondisi saat ini dengan visi yang dibawa. Inilah yang dinamakan Creative Tension. Ketegangan dalam menarik kondisi saat ini menuju visi.
Jika gap antara dua kutup ini jauh sekali, berarti makin tegang. Secara manajerial, makin tegang makin banyak pekerjaan. Program-programnya harus menutup gap itu. Ini agar ketegangannya makin berkurang alias lentur. Inilah yang digambarkan oleh Peter Senge dalam bukunya the Fifth Discipline. Jika ketegangan itu kuat, maka beban juga berat. Namun, jika di dalam kementerian pendidikan itu semua mendukung, maka ketegangan akan terisi dengan program.
Ibarat gelang karet, jika makin ditarik dari ujung ke ujung maka akan makin tegang. Jika dikendorkan, maka semakin lentur. Mengendorkan gelang karet berarti mengisi lubang-lubang yang membuat jarak visi dan kondisi saat ini. Itulah, teori creative tension. Dalam mengisi program, yang perlu dikerjakan adalah gap antara kondisi saat ini dan visi yang digagas oleh Mendikbud, Nadiem Makarim.
Secara empiris, Mas Nadiem Makarim, memang belum banyak berkecimpung di dunia pendidikan yang katanya masih birokratis itu. Namun, kesuksesannya dalam mengubah perilaku di public sudah ada. Bayangkan, pertama kali transportasi model Gojek banyak yang menentang. Banyak berita yang mengekspos tidak setuju adanya online transportation. Namun, dalam perjalanannya, adopsi itu sekarang sudah biasa.
Apa benar, Mas Nadiem Makarim akan menerapkan inovasi itu dalam dunia pendidikan? Jika, dia mencobanya, sejauh mana capaiannya nanti? Teka teki ini muncul jika kita belum tahu sejauh mana adopsi sitem yang akan digarapnya itu besar. Besar dalam arti publik dan jajaran kementerian pendidikan bisa mengadopsi.
Maka ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Pertama, sebarkan semua gagasan yang ada di dalam benak Mas Nadiem Makarim. Kemudian, ukurlah seberapa besar adopsi publik dan utamanya seluruh jajaran di kementerian pendidikan. Dari sini, bisa diketahui, creative tension dalam dunia pendidikan di negeri. Kemudian, isilah dengan banyak program. Buatlah kebijakan yang mengarah kepada visi yang disampaikan. Itulah, Mas Nadiem Makarim. Doaku, semoga Anda sukses mengubah dunia pendidikan untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang handal.
Add A Comment