SURABAYAONLINE.CO-Kebijakan pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 terkait penertiban dan pemutihan izin kebun kelapa sawit ilegal menuai sorotan dari kalangan akademisi. Sebuah kajian ilmiah yang disusun oleh Fairus Dhea Salma, Tria Dina Pratiwi, dan Fransisca Hana Dwi Damayanti dari Universitas Airlangga menilai kebijakan tersebut berpotensi melemahkan prinsip perlindungan lingkungan jika tidak disertai mekanisme pengawasan yang ketat.
Dalam kajian berjudul Analisis Kebijakan Pemutihan Izin Kebun Kelapa Sawit terhadap Keberlanjutan Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, disebutkan bahwa beleid tersebut merupakan respons pemerintah terhadap maraknya perkebunan kelapa sawit yang beroperasi tanpa izin di kawasan hutan. Data resmi menunjukkan, terdapat 436 perusahaan sawit ilegal dengan luasan mencapai 317.253 hektare yang permohonannya ditolak, serta 790.474 hektare lahan sawit lain yang statusnya masih diproses atau ditolak berdasarkan Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja.
Peneliti menilai, meskipun kebijakan ini bertujuan memberikan kepastian hukum dan memperbaiki tata kelola kehutanan, pendekatan pemutihan izin berisiko dipersepsikan sebagai bentuk “amnesti” terhadap pelanggaran hukum lingkungan. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip kehati-hatian, prinsip pencemar membayar, serta prinsip keadilan antar generasi yang menjadi fondasi hukum lingkungan modern.
Kajian tersebut juga menyoroti dampak ekspansi sawit terhadap deforestasi dan perubahan iklim. Indonesia saat ini menjadi produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar di dunia, menyumbang lebih dari 55 persen pasokan global. Data dari Badan Pusat Statistik mencatat, total luas perkebunan kelapa sawit nasional mencapai lebih dari 16 juta hektare yang tersebar di 26 provinsi, dengan dominasi pengelolaan oleh perusahaan swasta.
Namun, laporan lembaga lingkungan seperti Greenpeace mengungkap sekitar 19 persen kebun sawit Indonesia beroperasi secara ilegal di kawasan hutan, termasuk taman nasional dan wilayah yang berdekatan dengan situs warisan dunia UNESCO. Kondisi ini memperparah laju deforestasi, hilangnya habitat satwa dilindungi, serta meningkatnya emisi gas rumah kaca dari alih fungsi hutan dan aktivitas industri sawit.
Menurut para peneliti, tanpa sanksi tegas, kewajiban pemulihan lingkungan, serta evaluasi menyeluruh terhadap dampak ekologis, kebijakan pemutihan justru dapat menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum. “Legalitas dan transparansi memang penting, tetapi harus berjalan seiring dengan komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan,” tulis mereka dalam kesimpulan penelitian.
Kajian ini merekomendasikan agar pemerintah memastikan kebijakan penertiban sawit ilegal disertai mekanisme pengawasan, pemulihan lingkungan, dan penegakan hukum yang konsisten. Tanpa itu, tujuan menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan melindungi generasi mendatang dikhawatirkan hanya akan menjadi slogan semata.


