Pemilu 2024 sepertinya tidak akan pernah usai walaupun peristiwanya telah lewat. Sejarah akan mencatat 2024 sebagai momen dimana keberadaban bangsa Indonesia sedang diuji.
Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat 5 tahunan, telah berubah menjadi ajang “penipuan umum” rakyat oleh penguasa. Dengan berkedok demokrasi, pemilu telah dijadikan alat legitimasi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Oligarki dimana struktur kekuasaan berada di tangan segelintir orang, sudah menjadi kenyataan di depan mata. Film Dirty Vote yang dirilis pada masa tenang kampanye telah sangat jelas menggambarkan desain kecurangan Pemilu 2024.
Bahwa kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sulit dibantah. Apalagi penguasa seakan tidak malu, atau memang sudah kehilangan malu atas perbuatan yang tidak hanya melanggar konstitusi. Tapi juga merendahkan nilai-nilai kemanusiaan (human values) yang berlaku secara universal.
Bangsa Indonesia sudah kehilangan karakter bangsa yang tergambarkan pada Pembukaan UUD 1945. Pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, terasa makin menjauh ketika permainan penguasa yang secara absolut dan terang- terangan menggunakan instrumen negara. Institusi kepresidenan terdegradasi menjadi alat politik praktis dengan ajang pembagian bantuan sosial (bansos).
Memelihara Kebodohan 1
Secara masif, tanpa terencana, dan tanpa melibatkan struktur pemerintahan yang relevan, cawe-cawe presiden diterjemahkan dalam bentuk mobilisasi aparat. Upaya ini untuk pemenangan pasangan calon (paslon) presiden tertentu. Serta siasat tebang pilih dalam penanganan korupsi. Hal ini telah menyandera aparat, pimpinan politik, serta partai-partai pendukung untuk “harus setia” dalam barisan kekuasaan.
Bagai kambing congek, mereka dipaksa bermain orkestra kebohongan. Rakyat diminta duduk manis dan terima beres atas janji-janji manis mereka.
Debat capres-cawapres hanya menonjolkan gimmic untuk meraih simpati penonton. Adu gagasan terkalahkan dengan Jogetin Aja!. Atraksi mengalahkan substansi. Maka sebenarnya proses pembodohan telah berlangsung secara mulus. Seakan alamiah, hingga mudah diterima oleh masyarakat pada umumnya.
Seperti halnya zaman kolonial menerima perlakuan ketidakadilan, penindasan, serta kesewenang-wenangan penjajah dengan sikap nrimo. Jargon Indonesia Maju atau Indonesia Emas 2045 sejatinya adalah janji manis untuk menghipnotis bangsa ini agar mudah dikendalikan.
Saya tidak membahas kecurangan pemilu yang saat ini sedang diungkap serta dipermasalahkan. Namun mengapa kebohongan dan penipuan berkedok demokrasi untuk kepentingan rakyat bisa berjalan mulus. Sepertinya harus menjadi perhatian khusus.
Kebodohan merupakan salah satu perkara yang mestinya amat dibenci dan diperangi oleh bangsa ini. Amanah pemimpin negeri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita mewujudkan bangsa yang mampu berpikir nalar dan memiliki kemandirian.
Memelihara Kebodohan 2
Kebodohan bangsa menjadi sebuah keharusan bagi penguasa yang menginginkan hegemoni kekuasaan. Kebodohan sengaja dipertahankan dan dipelihara dalam berbagai kelas sosial masyarakat. Sebagian besar rakyat kita (lebih 70%) berada dalam kemiskinan serta memiliki latar belakang pendidikan yang rendah serta pengetahuan yang terbatas.
Seorang yang tidak berpengetahuan luas biasanya akan lebih mudah dipengaruhi. Karena ketidaktahuannya, maka ia akan cenderung gampang ditarik dan dipengaruhi. Entah pengaruh itu benar atau tidak, maka ia akan menelannya mentah-mentah. Karena ketidaktahuannya ia akan meyakini bahwa hal tersebut benar. Padahal belum tentu kebenarannya atau malah sebaliknya akan menyesatkan.
Kemiskinan diciptakan dan penguasa mengikat kelompok masyarakat ini melalui ketergantungan bansos dan sejenisnya. Tanpa disadari ketergantungan kelompok pada penguasa mulai dari tingkat yang paling rendah. Yaitu perangkat desa hingga simbol negara, yaitu presiden telah berhasil melekat melalui program instan yang sebenarnya diambil dari kas negara, serta memang menjadi kewajiban negara atas hak mereka sebagai rakyat.
Kebodohan pada kelompok terdidik, profesional, serta tokoh publik diciptakan melalui rasa takut. Takut dari ancaman yang bersifat bahaya, baik dari aspek fisik, emosional, maupun psikologis. Ancaman tersebut dapat bersifat nyata atau sekadar fantasi saja.
Dalam kenyataannya rasa takut di kelompok ini lebih bersifat tidak nyata dan terbentuk akibat lingkungan atau ekosistem yang dikondisikan oleh penguasa. Timbulnya kecemasan karena adanya ketidakpastian di masa mendatang menyebabkan kelompok ini memilih “posisi aman” dekat dengan kekuasaan agar kariernya cemerlang.
Memelihara Kebodohan 3
Proyeknya tetap berjalan, atau bagi publik figur namanya tetap dipandang baik di masyarakat. Kelompok ini biasanya terjebak dengan gaya hidup hedonisme, yaitu berusaha menghindari hal-hal yang menyakitkan atau menyusahkan dengan memaksimalkan perasaan-perasaan menyenangkan.
Collins Gem menyebut bahwa hedonisme merupakan sebuah doktrin yang menyampaikan bahwa kesenangan adalah hal yang paling penting di dalam hidup. Penguasa dan paslon yang didukungnya sering kali menginjeksi otak kita dengan kata-kata ringan yang menenangkan dan menyenangkan. Serta menganggap masalah yang muncul adalah masalah ringan yang nggak usah dibuat pusing dan ditanggapi secara serius.
Inilah upaya pembodohan yang dilakukan secara TSM dan berakibat timbulnya sikap permisif (serba membolehkan atau suka mengizinkan terhadap hal-hal yang dahulu dianggap tabu) dan pragmatisme (sifat atau ciri seseorang yang cenderung berpikir praktis, sempit, dan instan).
Orang yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai. Tanpa mau berpikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama.
Wajar kalau kemudian sikap permisif serta pragmatisme menjadi dasar lolosnya masalah hukum serta etika, hingga Mahkamah Konstitusi (MK) bisa melahirkan keputusan kontroversial. Hal ini diikuti KPU dalam mengakomodasi serta mengesahkan paslon yang bermasalah. Hingga pada akhirnya melenggang dengan penuh kebohongan dan penipuan.
Rakyat banyak yang cuek dan takut merespon kondisi ini. Jangankan rakyat ataupun mahasiswa, kelompok terpelajar diwakili oleh para guru besar dan akademisi pun ketika memberikan pernyataan serta sikap kritis, dianggap angin lalu dan dianggap partisan oleh penguasa.
Memelihara Kebodohan 4
Kebodohan sering kali menimbulkan bahaya yang tidak kita sadari. Sesungguhnya kebodohan merupakan peyebab kerusakan di bumi ini. Bahkan tanpa mereka sadari. Sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:
”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: ” Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar”. (QS. Al-Baqarah: 11-12).
Pemimpin yang bodoh akan menyesatkan umatnya. Kebodohan akan sangat berbahaya jika sampai dimiliki oleh seorang pemimpin. Termasuk pemimpin negara yang bodoh pasti akan menyesatkan rakyatnya.
Rasulullah SAW telah dapat memprediksi bahwa kelak akan datang masa dimana orang-orang yang bodoh yang lebih banyak berbicara. Sehingga ia berbicara mengenai ilmu yang tidak ada dasarnya. Orang bodoh akan selalu ingin terlihat pintar, sehingga ia akan berbicara tanpa paham betul apa maknanya. Sebagaimana hal tersebut telah diperingatkan dalam hadits :
“Sesungguhnya di depan Dajjal ada tahun-tahun banyak tipuan dimana saat itu orang jujur didustakan, pembohong dibenarkan, orang yang amanah dianggap khianat, orang yang khianat dianggap amanah, dan di sana berbicaralah Ruwaibidhoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, apa itu Ruwaibidhoh? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Orang yang bodoh (tetapi) berbicara mengenai urusan orang banyak/ umum”. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Ya’la, dan Al-Bazzar, sanadnya jayyid/ bagus. Dan juga riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Lihat Kitab Fathul Bari, juz 13 halaman 84 ).(*)
Oleh: Agung Sapta Adi, praktisi kesehatan, pegiat sosial dan kemasyarakatan